Oleh: Fuji Pratiwi
Meski bangunan makam itu diperuntukkan bagi ibunya, Mumtaz Mahal, Aurangzeb memandang itu melanggar aturan agama.
Menurutnya, Islam melarang meninggikan makam apalagi bangunan dipenuhi hiasan dan menghabiskan banyak biaya.
"Legalitas mendirikan bangunan di makam sangatlah diragukan, termasuk bermewah-mewah atas makam itu,'' demikian pernyataan termasyhur Aurangzeb.
Poin ini juga berlaku untuk makam para sufi sebab ia melihat tindakan itu telah mengarah pada praktik pemujaan satu objek. Ini sangatlah bertentangan dengan Islam.
Karena ingin menerapkan sistem Islam dalam semua elemen dinasti, Aurangzeb merangkum dan membukukan kumpulan hukum Islam agar lebih mudah dipraktikkan rakyat.
Ia mendatangkan ulama Muslim dari seluruh penjuru dunia untuk menyusun buku itu. Buku itu kemudian menjadi buku rujukan bagi pelajar Muslim di sekolah Hanafiah dan dikenal sebagai Fatawa-e-Alamgiri, (Dekrit Agama Alamgir).
Kompilasi hukum ini dikenal juga sebagai Fatwa al-Hindiya yang sama dihormatinya dengan kompilasi hukum Hanafi. Menggunakan Fatawa-e-Alamgiri sebagai panduan, Aurangzeb mengirim utusan ke seluruh penjuru negeri untuk menegakkan hukum Islam dan pemberantas praktik maksiat, seperti meminum alkohol, judi, dan prostitusi.
Pajak yang tidak sesuai nilai Islam juga dihapuskan, kebijakan yang sangat popular dari Dinasti Mughal. Untuk mengembalikan kestabilan pendapatan negara dari pajak yang sempat tekuras, Aurangzeb menjalani hidup sederhana dan tidak meniru gaya hidup mewah ayahnya. Tradisi bermewah-mewah dalam kerajaan juga ia hapuskan, seperti pergelaran musik dan pesta ulang tahun dinasti.
Dengan segala capaian yang diraih Aurangzeb dalam sejarah Dinasti Mughal, ada sebagian sejarawan dan akademisi yang menilai Aurangzeb sebagai pemimpin yang kurang toleran.
Dia dituding sebagai penghancur kuil dan berusaha melenyapkan penganut non-Muslim dalam dinastinya. Namun, konteks sikap Aurangzeb ini dinilai sering disalah-artikan.