REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana menilai kebijakan pemerintah membayar uang diyat untuk Satinah bisa menjadi preseden buruk bagi pemerintahan berikutnya.
Pemerintah, menurut dia, Kamis (3/4), telah meninggalkan preseden buruk bagi pemerintahan yang akan datang karena siapapun yang akan menjadi pemerintah akan berada dalam posisi dilematis.
"Bila tidak membayar uang diyat maka seolah kinerja mereka dinilai buruk dibandingkan kinerja pemerintahan Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY)," katanya.
Hikmahanto menilai, pembayaran diyat untuk menebus semakin tidak masuk akal dan lebih merupakan permainan mafia.
"Bila mereka membayar, pertanyaannya berapa besar diyat yang akan dimintakan oleh keluarga korban bila kali ini sudah hampir empat kali lipat uang yang dikeluarkan untuk menebus nyawa Darsem (pada 2011)," katanya.
Menurut dia, pemerintah sebenarnya tahu, sebagaimana diungkap oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM Djoko Suyanto, bahwa di belakang tuntutan diyat ada mafia. Pemerintah juga tahu bahwa pemerintah Arab Saudi telah menetapkan batas maksimum untuk pembayaran diyat.
"Tapi pemerintah telah mengabaikan ini semua karena ingin menyelamatkan nyawa Satinah. Pertanyaannya apakah benar nyawa Satinah yang hendak diselamatkan? Ataukah ada motivasi lain di tahun politik ini yang tidak terlalu lama lagi akan dilakukan pemilu legislatif? Apakah ini upaya untuk meningkatkan elaktibilitas dari partai berkuasa? Semua jawaban tentu hanya ada di para pengambil keputusan," katanya.
Ia menambahkan, pembayaran diyat oleh pemerintah dilakukan meski Presiden SBY sebagai kepala pemerintah tertinggi beberapa waktu lalu meminta masyarakat untuk mempertimbangkan aspek keadilan bila jumlah diyat yang fantastis harus ditanggung oleh pemerintah.
"Ini pun menjadi pertanyaan apakah tidak ada koordinasi antara Presiden dengan para pembantunya saat diputuskan pemerintah membayar diyat Satinah?," katanya.
Lebih janggal lagi, menurut dia, dalam pembayaran diyat pemerintah telah mengambil posisi sebagai pengacara dan keluarga Satinah dengan melakukan negosiasi ke keluarga korban.
Negosiasi dan pembayaran seharusnya dilakukan oleh Satinah sebagai pelaku kejahatan, keluarga Satinah atau pengacaranya.
Ia menjelaskan, dalam konsep diyat hubungan antara pelaku kejahatan dan keluarga korban merupakan hubungan kontraktual. Dalam konsep tersebut tidak seharusnya pemerintah mengambil peran.
"Dengan membayar diyat maka pemerintah telah menumbuh-suburkan komersialisasi diyat dengan mafianya. Bahkan pemerintah seolah mengambil jalan pintas dan mudah bagi pembebasan Satinah," katanya.
Padahal orang bersalah, menurut dia, meski derajatnya sangat rendah, seharusnya tetap menjalani hukuman. "Dengan pembayaran diyat maka seolah kejahatan yang pernah dilakukan serta merta hapus. Pemerintah telah kalah dengan tuntutan pemeras,'' tegas Hikmahanto.