REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA-- Menteri Infrastruktur dan Lingkungan Hidup Belanda, Melanie Shultz van Haegen memuji perkembangan infrastruktur di Kota Surabaya, Jawa Timur (Jatim). Tak hanya memuji, pihaknya juga berniat menjajaki kerja sama infrastruktur dengan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.
Menurutnya, Surabaya maupun kota-kota di Belanda punya banyak kesamaan. Yakni, arah pembangunan sama-sama berawal dari sungai. Pihaknya mengaku tahu betul bagaimana mengelola sungai sebagai suatu komponen penting dalam kota. Pemerintah Belanda juga paham betul tentang pengelolaan pengairan dan banjir karena sebagian besar wilayah Belanda berada di bawah permukaan air laut.
“Namun Surabaya berhasil menerapkan pembangunan yang ramah lingkungan sehingga masuk dalam jajaran kota-kota berpengaruh di Asia,” katanya saat berkunjung ke balai kota Surabaya dengan didampingi Duta Besar (dubes) Belanda untuk Indonesia, Tjeerd de Zwaan, Jumat (4/4) pagi.
Keberhasilan itu membuat pihaknya tertarik melakukan kerja sama dengan Surabaya. Dia menilai, Surabaya sebagai kota besar tentu punya tantangan tersendiri di bidang infrastruktur. Alumnus Universitas Leiden dan Universitas Erasmus ini berharap kerja sama kedua pihak bisa lebih komprehensif.
“Secara keseluruhan, saya sangat terkesan dengan pembangunan Kota Surabaya. Lain waktu, saya harus lebih lama lagi di sini untuk mengetahui lebih dalam tentang kota ini,” ujarnya.
Pada kesempatan tersebut, Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini yang menyambutnya memaparkan banyak hal tentang Kota Surabaya. Mulai dari kondisi alam, kependudukan, demografi, inftrastruktur, transportasi hingga sistem saluran air (drainase) kota.
Risma menjelaskan, kota yang dipimpinnya sudah memiliki program yang dinamakan Surabaya Drainase Masterplan. “Sistem ini terbukti ampuh mengatasi banjir. Buktinya, kawasan-kawasan yang dulunya langganan banjir kini banyak berkurang,” ujarnya.
Meskipun demikian, ia tidak berpuas diri untuk mengatasi banjir Surabaya. Dia berniat mencari peta saluran gorong-gorong yang dibangun pada masa kolonial Belanda. Ia optimistis jika pihaknya bisa memaksimalkan saluran bawah tanah itu, saya optimis Surabaya bisa dengan mudah mengatasi problem banjir. Usaha tersebut sudah dilakukan pihaknya sejak 2 tahun lalu, yakni menelusuri jejak peta saluran bawah tanah hingga ke Den Haag. Namun sayangnya upaya tersebut belum menemui hasil.
Selain itu, Risma juga mengungkapkan keinginannya untuk memfungsikan kembali Jembatan Petekan. Dia beralasan, jembatan tersebut memiliki nilai historis tinggi. Pada zaman dulu, kapal-kapal barang bisa masuk hingga ke pusat kota Surabaya lantaran jembatan Petekan bisa dibuka-tutup. Kini, jembatan yang terletak di Surabaya Utara tersebut tak lagi difungsikan lantaran sudah rusak.
Perihal transportasi, Risma menjelaskan tentang rencana pembangunan angkutan massal cepat (AMC) berupa trem dan monorel. Rencananya, koridor utara-selatan sepanjang 17,14 kilometer akan dihubungkan oleh moda trem sedangkan monorel akan melayani koridor timur-barat sepanjang 24 kilometer. Konsep pemilihan jenis moda tersebut bukannya tanpa alasan.
Menurut perhitungan pihaknya, pemilihan trem dan monorel untuk kedua koridor menyesuaikan kondisi lanskap Surabaya dimana jalur utara-selatan banyak berdiri bangunan cagar budaya. Risma mengakhiri paparannya dengan ketertarikan kerja sama berupa pengiriman staf untuk belajar di bidang drainase dan transportasi.
Risma menyambut baik tawaran kerja sama Belanda. Tak hanya itu, dia juga tertarik teknologi yang digunakan di Belanda untuk pembersihan saluran dan gorong-gorong. Di negeri kincir angin tersebut, pengerukan sedimentasi sungai menggunakan alat khusus sehingga tidak perlu lagi menepi hanya untuk menaruh hasil pengerukan. “Jadi, proses bisa dilakukan sekali jalan dan lebih efisien,” katanya.