REPUBLIKA.CO.ID, BANGKOK -- Ratusan ribu pendukung pemerintah Thailand diperkirakan turun ke Bangkok akhir pekan ini sebagai lambang unjuk kekuatan menyusul unjuk rasa berbulan-bulan untuk menurunkan Perdana Menteri Yingluck Shinawatra.
Kegencaran lawan politik dengan upaya hukum terhadap Yingluck memicu pendukungnya bergerak, sehingga menimbulkan kekhawatiran terjadi bentrok di antara kedua kelompok tersebut.
Puluhan ribu pendukung Yingluck 'baju merah' berunjuk rasa di sebuah stadion di Bangkok pada November untuk mengimbangi sentimen anti-pemerintah. Namun aksi tersebut bulan selanjutnya dibubarkan setelah terjadi bentrokan berdarah yang mengakibatkan lima orang tewas dan sejumlah orang lain terluka.
Pihak berwenang mengatakan mereka tidak mengharapkan terjadinya kekerasan untuk kali ini. "Pengunjuk rasa anti-pemerintah akan berada di dalam kota Bangkok sementara 'baju merah' berada di luar," kata penasehat keamanan perdana menteri, Paradorn Pattanathabutr kepada Reuters.
"Konfrontasi sepertinya tidak akan terjadi namun kami mengawasi keberadaan provokator," katanya.
Pemimpin baju merah mengatakan mereka tidak menginginkan bentrokan. "Demo kami akan menunjukkan dengan jelas bahwa Thailand hanya akan menerima perdana menteri yang dipilih secara demokratis, tidak ada yang lain," kata pemimpin 'baju merah' Nattawut Saikua.
"Kami tidak akan menggunakan kekerasan. Kami tidak mencari konfrontasi," katanya.
Pemimpin baju merah memperkirakan lebih dari 500 ribu pendukungnya akan turun pada Sabtu (5/4) sementara polisi mengatakan sekitar 350 ribu akan berkumpul pada Sabtu (5/4) dan Ahad (6/4). Banyak diantara mereka yang sudah berangkat ke lokasi sejak Jumat malam dengan menggunakan bus dan kereta dari provinsi-provinsi di seluruh negeri, terutama dari basis pendukung Yingluck di wilayah utara dan timurlaut.
Pengunjuk rasa anti-pemerintah berbasis di Taman Lumpini Bangkok di pinggir distrik pusat finansial itu. Unjuk rasa anti-pemerintah selama lima bulan menyebabkan terganggunya lalu lintas, membuat takut turis ke Thailand dan menjadi pukulan keras bagi bisnis.
Pengunjuk rasa menduduki kantor-kantor pemerintahan, menggelar aksi jalanan, serta mengganggu jalannya pemilihan umum pada 2 Februari yang kemudian dibatalkan oleh pengadilan pada Maret. Mereka menginginkan reformasi politik yang luas, termasuk pembentukan dewan rakyat yang terdiri atas sosok-sosok penting, sebelum pemilu dilaksanakan.