REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tak mau lagi pasukan perdamaian dari TNI/Polri yang dikirim untuk misi perdamaian dan keamanan internasional keteteran. Kondisi itu pernah dialami ketika Indonesia mengajukan diri untuk mengirimkan satu batalyon pasukan penjaga perdamaian ke Lebanon beberapa tahun lalu.
Kala itu, ketika perang masih berlangsung di Lebanon dan PBB belum mengeluarkan resolusi, Indonesia berinisiatif untuk menawarkan diri ikut berupaya menjaga perdamaian dan keamanan di negara tersebut. Tak hanya mengirimkan para pasukan penjaga perdamaian, Indonesia pun menawarkan membawa peralatan pendukung seperti panser anoa.
Tak disangka, usulan itu disambut. Sayangnya, Indonesia ternyata belum benar-benar siap dengan respons dari negara lain ataupun PBB untuk terlibat langsung dalam misi perdamaian dan keamanan internasional. Alhasil, bala bantuan dari Indonesia untuk Lebanon pun sempat sulit dikoordinasikan.
“Ada kerepotan untuk memberangkatkan pasukan kita,” katanya saat memresmikan kawasan Pusat Perdamaian dan Keamanan Indonesia (Indonesia Peace and Security Center/IPSC) di Sentul, Bogor, Jawa Barat, Senin (7/4).
Hal yang sama juga terjadi ketika perang di Suriah yang dikhawatirkan akan menjadi persoalan besar dikemudian hari dan korban terus berjatuhan. Ia mengatakan, Indonesia siap untuk mengirimkan satu pasukan penjaga perdamaian dan kesatuan yang diperkuat. Karena itu, ia beranggapan untuk misi-misi serupa di masa depan, maka Indonesia dan pasukannya tidak boleh lagi keteteran jika tugas memanggil baik permintaan PBB ataupun inisiatif pemerintah Indonesia.
“Maka, kita harus punya fasilitas pendidikan yang baik, memiliki personil yang memadai, termasuk peralatannya. Stand by Force pun dibangun,” katanya.