Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Ketika berusia 17 tahun, Guru Tua pernah mengunjungi Indonesia. Pada 1922, ia kembali datang dan akhirnya menetap di nusantara.
Kedatangannya kali kedua ke Indonesia itu, lantaran terusir dari tanah kelahirannya oleh penjajah Inggris.
Ia bersama ulama-ulama lain menjadi pelopor kemerdekaan dan mengobarkan api perlawanan pada penjajah Hadramaut. Ia kemudian diutus untuk mengemban misi ke negara-negara Arab, agar bisa memuluskan perjuangan memperoleh kemerdekaan.
Namun sayang, misi ini gagal karena ia dikhianati. Ketika berada di tengah jalan, saat itu di Aden, ia ditangkap oleh Inggris dan dokumennya dirampas. Ia pun dilarang pergi ke Arab, namun disuruh memilih untuk pulang ke Hadramaut atau ke negara Asia Tenggara.
Saat itu, ia memutuskan untuk pergi ke Indonesia. Keputusannya tersebut mengantarkannya sebagai sosok ulama yang banyak dikenang oleh masyarakat Indonesia.
Saat tiba di Indonesia, kota pertama yang ditujunya adalah Pekalongan. Di sana ia kemudian menikah dengan Aminah binti Thalib al-Jufri, dan menghidupi keluarga dengan berdagang batik.
Sayang, ia tak begitu sukses sebagai pedagang. Kecintaannya pada dunia pendidikan mengantarkan langkah kakinya ke Kota Solo dan ia menjadi guru di Madrasah Rabithah al- Alawiyyah.
Perjalanan dakwahnya kemudian berlanjut ke Celebes, tepatnya di Palu, Sulawesi Tengah. Di sana ia dihadapkan pada gencarnya gerakan misionaris dan Kristenisasi. Dia prihatin. Sulawesi yang dulu punya sejarah sebagai pusat penyebaran Islam di Indonesia Timur, perlahan digerogoti oleh gerakan misionaris.