REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Operasional I PT Adhi Karya (PT AK), Teuku Bagus Mokhamad Noor didakwa melakukan perbuatan korupsi.
Jaksa dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di dalam dakwaannya mengatakan, bos konsorsium konstruksi itu terlibat aktif dalam praktik korupsi proyek pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan dan Sarana Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang, Jawa Barat pada 2010.
Jaksa Irene Putrie saat membacakan dakwaan mengatakan, praktik prilaku korup terdakwa merugikan keuangan negara sebesar Rp 464 miliar. Itu terbukti dengan rangkain penyidikan atas Teuku terkait proyek Hambalang di Kabupaten Bogor.
"Bahwa perbuatan terdakwa Teuku Bagus Mokhamad Noor bersama-sama dengan orang lain secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain serta korporasi yang merugikan keuangan negara dan juga perekonomian negara," ujar Irene, saat persidangan di PN Tipikor, Jakarta, Selasa (8/4).
Diterangkan Irene, rangkaian penyidikan atas Teuku memberi bukti keterlibatan laki-laki 53 tahun itu dalam tuduhan jaksa. Dikatakan, Teuku sebagai bos di PT AK telah memperkaya diri sendiri dengan menikmati uang senilai Rp 4,5 miliar yang diterima oleh KSO Adhi Wika sebagai pemenang tender jasa konstruksi pembangunan Hambalang.
Menurutnya, uang itu berasal dari upaya terdakwa agar perusahaan tempatnya bekerja memenangkan tender megaproyek senilai Rp 2,5 triliun itu. Dijelaskan Irene, Teuku yang ketika itu juga menjabat sebagai Kepala Divisi Konstruksi I PT AK membuat kerja sama dengan PT Wijaya Karya (PT Wika) untuk membentuk KSO Adhi Wika (PT AW).
Kerja sama itu, agar grup PT AK ini, dapat menang lelang konstruksi Hambalang senilai Rp 1,1 triliun. Tercatat ada delapan perusahaan ikut dalam lelang itu. Hampir semua peserta adalah perusahaan bentukan Teuku bersama bos dari PT Wika, Harangan Parlaungan Sianipar.
Usaha Teuku berhasil dengan memunculkan PT AW sebagai pemenang tender. Pemenangan itu pun atas sabotase prakualifikasi lelang yang sengaja diatur dan diadakan oleh Teuku bersama petinggi pada PT AK bersama KSO lain di apartemen Sommerset, Jakarta, 31 Agustus sampai 1 September 2010.
"Padahal, proses lelang tersebut seharusnya dilakukan dan dibiayai oleh panitia lelang (kemenpora) tanpa melibatkan peserta tender," kata Irene.
Selanjutnya pada 9 November 2010, proses penetapan dan penawaran oleh empat perusahaan peserta tender menempatkan PT AW sebagai penawar tertinggi. Menyusul tiga perusahaan lain yang juga merupakan KSO dari PT AK.
Upaya pemenangan PT AW dan KSO lainnya itu ternyata tidak gratis. Sebelum penetapan pemenangan tender, Teuku diduga bertemu dengan Deddy Kusdinar, Lisa Lukitawati, dan Muhammad Arifin, dari tim asistensi proyek P3SON Hambalang pada Kemenpora.
Pertemuan di Plaza Senayan itu menghendaki agar Teuku memberikan kompensasi sebesar 18 persen dari nilai jasa konstruksi untuk petinggi di kemenpora. Permintaan tersebut disetujui oleh Teuku.
Kata Irene, Teuku merealisasikan pinta itu dengan mengambil uang dari Machfud Suroso. Perusahaan Machfud menjadi subkontrak KSO PT AW untuk pekerjaan Mekanikal Elektrik (ME) di Hambalang.
Kompensasi 18 persen tersebut pun mengantarkan Teuku pada perbuatan memperkaya orang lain. Satu di antaranya adalah menpora Andi Alfian Mallarangeng. Irene mengatakan, uang pemberian untuk Andi seniali Rp 4,5 miliar yang dikirim oleh Deddy lewat adik kandung Andi, yaitu Andi Zulkarnaen Anwar alias Choel.
Selain itu, dikatakan oleh Irene uang pembayaran pertama kemenpora untuk pekerjaan awal P3SON senilai Rp 217 miliar pada 2010 dan kedua Rp 236 miliar disebar kepada 10 pihak terkait Hambalang. Beberapa di antaranya adalah Rp 10 miliar untuk menutup mulut Muhammad Nazaruddin.
Anggota Komisi III DPR RI 2010 itu disumpal lantaran salah satu perusahaannya rela mundur dalam tender serupa. Aksi mundur itu atas desakan atasan Nazaruddin di fraksi, yakni Anas Urbaningrum. Nama Anas pun terlampir dalam dakwaan sebagai penerima imbalan uang seniali Rp 2,1 miliar.
Dikatakan, uang itu untuk kampanye Anas meraih kursi Ketua Umum Partai Demokrat pada 2010. Nama lain yang juga menerima aliran uang tersebut, adalah anggota Badan Anggaran DPR Olly Dondokambey, sebesar Rp 2,5 miliar.
Perbuatan terdakwa dirumuskan jaksa dengan dakwaan ganda. Yaitu melanggar Pasal 2 ayat 1 Jo Pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 kesatu Jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana. Kedua, pasal 3 Jo pasal 18 UU Pemberantasan Tipikor Jo pasal 55 ayat 1 kesatu Jo pasal 65 ayat 1 KUHPidana.
Dakwaan akumulasi dari jaksa itu mendesak untuk melakukan langkah penuntutan dalam sidang lanjutan nanti. Jika pembuktian KPK benar di persidangan, membuka pintu penjara bagi Teuku selama 20 tahun penjara dan denda Rp1 miliar.
Menanggapi dakwaan KPK itu, Teuku dalam persidangan mengaku mengerti ancaman untuknya. Kata dia, tidak lagi perlu melakukan pembelaan atau eksepsi. Teuku 'menantang' agar persidangan selanjutnya, langsung memeriksa saksi-saksi dan pembuktian.
"Tidak ada (pembelaan) yang mulia (majelis hakim)," kata Teuku menjawab pertanyaan Ketua Majelis Hakim, Amin Ismanto atas tawaran pengajuan eksepsi.