REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ani Nursalikah
Produser Eksekutif Departemen News Religi TV One M Agung Izzulhaq mengakui sebagian besar produser program religi bukan orang berlatar belakang agama. Padahal, program ini tak lepas dari latar belakang pembuatnya.
Siapa pun yang mengerjakan program semacam itu, ujar Agung, harus melekat kepadanya nilai-nilai agama. Mulai dari juru kamera, pembawa acara, hingga penulis skrip. Ia menyebut semua itu dengan istilah jihader.
“Kita harus kreatif karena televisi menjual kreativitas. Tapi, apakah kreatif yang tidak punya etika?” tanya Agung Izzulhaq.
Ia menekankan perlunya kriteria ketat itu. Terbukti, Damai Indonesiaku yang telah berjalan selama enam tahun banyak diminati.
Di sisi lain, Agung menyesalkan acara yang dikemas dengan goyangan, kemudian diakui penonton sebagai tayangan religi. Ini merupakan sesuatu yang paradoks. Menurutnya, membuat program religi tak membutuhkan dana besar.
“Dengan dana Rp 18 juta sampai Rp 100 juta, kami sudah bisa membuat tayangan dakwah,” ujar Agung. Program yang ia buat juga jarang menampilkan ustaz atau dai selebritas yang sudah populer. Sebaliknya, justru menggaet para kiai dan dai muda.
Alasannya, karakteristik penonton berusia antara 25-45 tahun. Dai muda umumnya menyampaikan kajian Alquran dan hadis dengan lebih ringan. Ia juga menegaskan, dai tak perlu melawak saat harus berdakwah di televisi.
Dai pun mesti mempunyai posisi tawar ketika ia memperoleh tawaran tampil di televisi. Jangan hanya manut dengan pemilik program. Ia mengungkapkan, ada dai dari daerah yang menawarkan diri membayar untuk tampil.
Ini berarti, sang dai sudah mengarah ke syahwat popularitas karena ketika tampil off air, harga mereka melambung.
Agung mengatakan, dai yang tampil di programnya memperoleh imbalan sesuai besaran yang ditentukan manajemen mereka. Dibayar per sekali tampil.
Di TV One, seleksi dai yang tampil berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ada saran dari MUI mana ustaz yang bisa ditampilkan atau ustaz yang cukup keras pernyataannya. Tema dakwah pun disesuaikan dengan isu yang akan diangkat.
Tidak tertutup kemungkinan, dai bisa menentukan sendiri temanya. Terkait rating, Agung setuju hal itu tetap menjadi acuan, namun perlu ada sisi pencerdasan bagi masyarakat.