REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH-- Pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) 2014 dinilai banyak pihak berlangsung tidak demokratis. Hal itu diutarakan sejumlah LSM di Aceh yakni Aceh Sipil Society Taskforce (ACSTF), The Aceh Institute, Forum LSM Aceh, LBH Banda Aceh, Masyarakat Transparansi Aceh (MaTa) dan Solidaritas Perempuan Aceh yang tergabung dalam Masyarakat sipil Jaringan Pemilu Aceh (JPA).
''Pemilu di Aceh berlangsung tidak aman dan tidak demokartis. Masih sarat dengan berbagai macam teror kekerasan, intimidasi, kecurangan dan money politics,'' ujar juru bicara The Aceh Institute, Aryos Nivada seusai jumpa pers di Media Centre Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, di Banda Aceh, Jumat (11/4).
Aryos menjelaskan sngat disayangkan Pemilu di Aceh belum terbebas dari kekerasan, intimidasi dan politik uang yang dapat merusak demokrasi dan perdamaian. Ia mengungkapkan The Aceh Institute sebagai lembaga pemantau pemilu di Aceh menemukan setidaknya 20 kasus kecurangan, kekerasan, intimidasi dan politik uang.
Aryos mencontohkan, salah satunya yang cukup berani dilakukan tim sukses salah satu partai lokal berkuasa dan sempat disorot media yakni aksi intimidasi di Gampong Pulo Mangat, Kecamatan Syamtalira Bayu, Kabupaten Aceh Utara.
Pelakunya masuk ke TPS dan menjaga bilik suara, serta memaksa warga untuk memilih salah satu partai lokal, bahkan ada pula kertas suara sudah dicoblos kemudian diberikan kepada warga untuk dimasukkan ke kotak suara.
''Itu salah satu contoh dari sekian banyak contoh, dan tentu hal ini membuktikan bahwa belum ada demokrasi dalam pelaksanaan pemilu di Aceh,'' tutur Aryos yang menambahkan, atas berbagai temuan tersebut,
Masyarakat sipil Jaringan Pemilu Aceh akan membuat laporan resmi untuk mendesak agar ditindaklanjuti pihak yang berwenang, baik kepolisian maupun penyelenggara pemilu. ''Semua pelaku pelanggaran harus diberi sanksi agar memberikan efek jera sehingga sekaligus memberikan pendidikan demokrasi yang benar menuju masa depan demokrasi Aceh yang lebih baik lagi,'' pungkasnya.