Sabtu 12 Apr 2014 08:08 WIB

Mengagumi Kiai Kharismatik dan Fanatik Mazhab (2)

Ilustrasi
Foto: Fineart-china.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Banyak ayat Alquran yang memerintahkan kita agar menggunakan akal dan pikiran. Orang yang suka menggunakan akal dalam memikirkan sesuatu adalah orang yang suka tafakur.

Tafakur menghasilkan ilmu dan kecerdasan, sedang fanatik menghasilkan kebodohan. Hal ini dipahami dari hadis Rasulullah SAW, “Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dengan serta merta dari hamba-hamba-Nya, tetapi ilmu itu tercabut dengan matinya para ulama. Sehingga apabila tidak ada orang alim, orang-orang mengangkat pemimpin yang bodoh, maka apabila ditanya, mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.” (Muttafaq alaih)

Kiai yang sekuler sebenarnya sama dengan orang yang tidak berilmu lagi sehingga fatwanya tidak layak lagi diikuti, apalagi telah bertentangan atau tidak sesuai lagi dengan Alquran dan sunah.

Abu Bakar RA berkata, “Ikutilah aku selama aku mengikuti Allah. Apabila aku durhaka kepada Allah tidak ada lagi kewajibanmu mengikutiku.”

Para imam mujtahid seperti Abu Hanifah, Malik bin Anas, Asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal dan lain-lain, semua berfatwa yang isinya menyatakan bahwa ikutilah pendapat mereka selama pendapat mereka itu sesuai dengan Alquran dan sunah.

Kedua ialah kata ‘mazhab’. Kata ‘mazhab’ berasal dari kata dzahaba-yadzhabu- dzahaban- dzuhuban dan madzhaban, yang berarti pergi berjalan, berlalu. Bahkan, kadang-kadang berarti mati, sesuai dengan konteks dan pemakaiannya dalam suatu kalimat.

Kemudian para ahli fikih menjadikan kata ‘mazhab’ sebagai kata istilah yang berarti pendapat seorang mujtahid, kemudian pendapat itu diikuti oleh orang banyak atau suatu kelompok orang, karena mereka percaya kepada kebenaran pendapat itu.

Dalam perjalanan sejarah ada kelompok orang yang tetap berpegang kepada arti ‘mazhab’ yang sebenarnya, yaitu mengikuti pendapat mujtahid yang dipercayainya itu, selama belum ada dalil yang lebih kuat yang dapat merubah pendapat itu, jika ada dalil yang lebih kuat maka meninggalkan pendapat itu.

Dan ada pula kelompok orang yang tidak lagi mengikuti pendapat tersebut keseluruhannya, tetapi mereka tetap menamakan kelompok mereka dan membangsakan diri kepada imam ‘mazhab’ tersebut.

sumber : Fatwa Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement