REPUBLIKA.CO.ID, Setelah Abu Yusuf meninggal dunia beliau berguru kepada Muhammad Hasan Asy-Syaibani, murid Abu Hanifah dan teman Abu Yusuf.
Pada perguruan Muhammad bin Hasan inilah Asy-Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal, dan terjalinlah hubungan yang erat antara keduanya. Ahmad bin Hanbal memperkirakan bahwa tidak lama lagi Makmun akan diangkat memjadi khalifah.
Sebagai seorang Mu’tazilah, ia akan menangkap lawan-lawan politiknya termasuk golongan ahli sunah. Karena itu, Ahmad bin Hanbal menganjurkan kepada Asy-Syafi’i agar segera meninggalkan Kufah, dan sebaiknya pergi ke Mesir.
Anjuran ini diterima oleh Asy-Syafi’i dan dia pergi ke Mesir dan tinggal di rumah teman Ahmad bin Hanbal. Asy-Syafi’i memberi gelar Abu Hanifah dengan “Iyaalu ahlil fiqh” (cikal bakal ahli fikih), sebagai tanda betapa tingginya penghargaan Asy-Syafi’i kepada Abu Hanifah.
Dikatakan bahwa pendapat Asy-Syafi’i merupakan sintesa dari pendapat Abu Hanifah dan pendapat Malik. Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa fanatik kepada suatu mazhab itu tidak diajarkan oleh Alquran dan as-Sunah.
Yang boleh kita lakukan ialah ittiba’ (mengikuti) pendapat para ulama selama kita yakin bahwa pendapat yang dikemukakan oleh ulama atau kiai itu tidak menyalahi Alquran dan sunah. Pada saat kita mengetahui bahwa pendapat ulama atau kiai itu tidak sesuai dengan Alquran dan sunah kita wajib meninggalkannya.
Jawaban pertanyaan pertama
Menurut ajaran Islam, kita wajib taat dan patuh kepada Allah SWT dan Rasul-Nya, Nabi Muhammad SAW. Tunduk dan patuh kepada Allah, tuntunan dan petunjuknya terdapat dalam Alquran.
Sedang tunduk dan patuh kepada Rasulullah berarti kita melaksanakan perkataan, perbuatan, dan taqrirnya yang terdapat dalam as-sunah yang shahih dan makbul. Yang dimaksud dengan taqrir Nabi SAW ialah perkataan dan perbuatan sahabat yang diketahui oleh Rasulullah tetapi Rasulullah tidak memberikan reaksi (tidak membenarkan dan tidak menyalahkan) terhadapnya.
Sebagaimana diketahu, perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi SAW itu mulai dibukukan pada permulaan abad kedua Hijriyah dan berakhir pada akhir abad ketiga Hijriyah. Hal ini berarti bahwa selama lebih dari satu abad, sunah itu berada dalam hafalan sahabat, kemudian diajarkan dan dihafal oleh tabi’in.
Kemudian tabi’it tabi’in mempelajari dan menghafal setelah menerima dari tabi’in. Hal yang demikian dilakukan pula oleh atba’ut tabi’it tabi’in sampai kepada perawi, dan perawi membukukannya.
Dengan demikian as-sunah sampai dibukukan, terjadi alih hafal sekurang-kurangnya lima generasi. Yaitu generasi sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, generasi atba’ut tabi’it tabi’in dan generasi perawi.