REPUBLIKA.CO.ID, Sebagaimana diketahui, bahwa manusia itu tidak sama kemampuannya dan tidak sama pula nilainya.
Ada yang pintar, ada yang kurang, ada yang banyak ilmunya ada yang kurang, ada yang dapat dipercaya, dan ada pula yang tidak dapat dipercaya, ada yang kuat hafalannya, ada yang kurang kuat dan sebagainya.
Perbedaan tingkatan kemampuan dan nilai para sanad hadis ini menimbulkan perbedaan penilaian terhadap hadis yang sampai kepada kita. Karena itulah sebelum suatu hadis diamalkan perlu diteliti lebih dahulu, apakah hadis itu shahih sanadnya dan dapat diterima dengan arti tidak berlawanan dengan nash yang lebih kuat daripadanya.
Untuk meneliti sanad dan matan suatu hadis dapat dilakukan kaum Muslimin pada masa kini, karena telah tersedia buku-buku yang menerangkan riwayat hidup orang-orang yang menjadi sanad suatu hadis.
Demikian pula tentang matan hadis dapat diuji dengan nash yang lebih kuat daripadanya, seperti Alquran dan as-sunah yang telah diakui kesahihan dan kemakbulannya.
Banyak nash yang dapat dijadikan dasar bahwa kita wajib mengikuti Allah dan Rasul-Nya, ialah Allah SWT berfirman, “Katakanlah: ‘Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang’. Katakanlah: ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir’”. (QS Ali Imran: 311-32).
Baca juga Alquran surah an-Nisa’: 59; al-Maidah: 92; al-Anfal: 20; an-Nuur: 54 dan banyak ayat-ayat Alquran yang lain yang senada dengan ayat di atas serta mengancam dengan siksa setiap orang yang tidak mengikuti perintah tersebut.
Dan hadis Rasulullah SAW, “Islam itu ditegakkan (di atas) lima perkara; meyakini bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berhaji dan puasa bulan Ranadhan.” (Muttafaq alaih).
Meyakini Rasulullah SAW sebagai salah satu fundamen Islam, maksudnya mengikuti dan taat melaksanakan yang termaktub pada sunahnya.
Dari keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kita hanya wajib taat dan patuh hanya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Sedang dalam masalah duniawi kita boleh mengikuti ulil amri (pemerintah) selama pemerintah itu tidak menyimpang dari ajaran dan perintah Allah dan Rasul-Nya.
Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (as-sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya.” (QS an-Nisa’: 59).
Hal ini juga berarti bahwa kita boleh saja mengikuti siapa saja termasuk kiai kharismatik selama ia berpegang kepada Alquran dan as-sunah ash-shahihah dan al-maqbulah.