REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Perdana Menteri Turki tampaknya masih ingin mencari cara untuk membungkam layanan Twitter di negaranya. Dalam pidatonya, Sabtu, Recep Tayyip Erdogan menyebut layanan microblogging tersebut sebagai pengelak pajak dan pemerintah akan terus mengejar itu.
"Twitter, YouTube dan Facebook adalah perusahaan internasional yang didirikan untuk mendapatkan keuntungan dan menghasilkan uang. Twitter pada saat yang sama mengelakkan pajak. Kami akan terus mengejarnya," ujar Erdogan yang dilansir AFP dari CNET, Ahad (14/4).
"Perusahaan seperti ini, seperti perusahaan internasional lainnya, harus mematuhi konstitusi negara saya, hukum dan aturan pajak," tambahnya.
Bulan lalu pemerintahan turki sempat menutup layanan Twitter. Namun larangan tersebut akhirnya dicabut setelah pengadilan tinggi Turki menyebutkan hal ini sebagai pelanggaran kebebasan berbicara setiap individu. Pengadilan juga memerintahkan untuk mencabut larangan terhadap YouTube meski sejauh ini pemerintah masih memblokirnya.
Pemblokiran ini terjadi karena ada postingan yang mengkritisi pemerintahan Erdogan. Sebuah rekaman muncul yang diduga tertangkapnya Erdogan dan anaknya dalam sebuah tidak korupsi tengah membahas cara menyembunyikan uang dalam jumlah besar. Erdogan kemudian menyebut itu sebagai rekaman palsu.
Tak beda dengan Twitter. YouTube juga ditutup setelah muncul sebuah rekaman yang diduga berisi pembicaraan pejabat pemerintah yang membahas serangan udara terhadap Suriah. Kementerian Luar Negeri setempat menyebut rekaman tersebut dimanipulai dan merupakan ancaman tingkat pertama bagi keamanan nasional, tulis kantor berita Anadolu yang dikelola Turki.
Erdogan juga menyebutkan keputusan Mahkamah Agung terhadap larangan Twitter sebagai campur tangan politik dan mendukung hukum komersial perusahaan internasional bukan membela hak-hak negara dan rakyatnya sendiri.
Senin lalu, Google mengajukan tiga petisi kepada Turki dalam upaya menyelamatkan YouTube dari pemblokiran. Dalam laporannya disebutkan pemblokiran tersebut terlalu luas dan menentang kebebasan berbicara.
Bulan Maret lalu, Gedung Putih juga sempat mengecam larangan Turki terhadap akses-akses berkomunikasi ini. "Kami menentang larangan ini atas akses rakyat Turki terhadap informasi, yang mengurangi kemampuan mereka dalam kebebasan berekspresi dan berserikat serta bertentangan dengan prinsip-prinsip pemerintahan yang terbuka yang penting dalam pemerintahan demokratis," ujar Sekretaris Pers, Jay Carney.