REPUBLIKA.CO.ID, Agar tak tergerus zaman dan tetap melekat di hati masyarakat Indonesia, terutama warga pedesaan, NU tampaknya perlu melakukan upaya signifikan. Berikut lanjutan wawancara wartawan Republika Afriza Hanifa dengan Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj MA.
Apakah NU juga ikut berkiprah di bidang kesehatan?
Ya, sebenarnya banyak rumah sakit NU. Hanya kurang diurus baik, jadi banyak berdiri sendiri. Ada 112 rumah sakit NU yang tersebar. Ada di Demak, Kediri, dan di Kajen, Pati. Di Malang dan Sidoarjo juga ada rumah sakit kami yang besar.
Di Tuban bahkan ada Akper (Akademi Keperawatan) dan Akbid (Akademi Kebidanan). Yang manajemennya nggak beres ada di Demak, Tuban, Kediri. Hampir bangkrut. Namun, sekarang ini kita dapat bantuan Rp 120 miliar untuk kesehatan. Rumah sakit kita memang tak sebesar Muhammadiyah. Tapi, itu karena kita ngurus semuanya, nggak cuma pendidikan dan kesehatan.
Kita juga mengurus perempuan, mahasiswa, Anshor, asosiasi pesantren, masjid, pertanian, ekonomi, ada asosiasi zikir, penghafal Alquran, pencak silat, persatuan guru, buruh, semuanya ada. Sehingga, agenda kita sangat banyak. Ada 18 lembaga yang mengurus. Kalau fokus dua saja, mungkin kita bisa sama.
Lalu, bagaimana dengan peran NU dalam membangun civil society?
Iya, itu utama. Apalagi, setelah peran sebagai parpol bubar. Sekarang kita sudah lepas dari parpol. Memang ada partai yang dibentuk oleh kalangan NU. Namun, itu beda, bukan sayap politik NU. Kita nggak bisa paksa NU ke PKB (Partai Kebangkitan Bangsa). PKB hanya partai yang dilahirkan NU.
Namun, orang NU bebas memilih siapa saja, partai mana saja. Kita bisa lihat banyak orang NU ke Golkar, Demokrat, partai lain, dan sedikit di PDI Perjuangan. Namun, pengurus di dalam PKB seluruhnya orang NU. Anggota pengurus PKB itu NU semua, tapi NU bukan PKB. Jadi, kalau PKB pasti NU, tapi NU belum tentu PKB.
Bagaimana dengan kaderisasi? Sebab, sekarang jarang sekali terlihat pemuda mengaku sebagai NU.
Kaderisasi kita pada hakikatnya adalah pesantren. Pesantren itulah kaderisasi. Jadi, sudah terkaderisasi secara sendiri dari pesantren. Apalagi, mayoritas pesantren Indonesia kan NU.
Sekarang ini banyak pesantren modern. Apakah NU juga akan memordenisasi semua pesantren?
Sebenarnya, yang tradisional dipakai, temuan modern juga dipakai. Tapi, kalau yang kuno dibuang, kita akan kehilangan jati diri. Itu prinsip budaya agar tidak kehilangan jati diri. Kita kan Islam tradisional. Bahkan, ada di antara anak muda dari luar negeri, termasuk dari negara-negara Asia Tengah bekas Soviet, mau belajar ke sini (NU).
Karena, kalau ke Timur Tengah, mereka takut menjadi teroris. Ada 20 (anak muda) dari Afghanistan yang ke sini. Mereka, terutama dari negara konflik, mencari pendidikan yang toleran, moderat, jauh dari radikalisme. Kiai NU walaupun di kampung, semuanya toleran, tidak ada yang radikal.
Berarti NU tidak akan memodernisasi diri di era global ini?
Kita masuk ke era global dengan percaya diri, tapi tidak kehilangan prinsip. Tahlilan, istighosah, khaul, ziarah kubur, kalau itu hilang maka bukan NU. Makanya, di NU itu ada kiai yang sangat tradisional tapi ada juga kiai modern.
Bagaimana dengan kiprah NU di ranah global?
Iya, tentu. Kita juga mempunyai banyak ulama NU yang sudah berkiprah di global. Saya sendiri kemarin menghadiri acara di Atlanta. Pernah juga mengisi acara di Turki, Rusia, Korea, Malaysia, Munich. Kalau yang lebih jago bahasa Inggris, lebih banyak lagi.