REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Djoko Suyanto menyatakan, TKI Satinah akan segera bebas dari hukuman pancung karena membunuh majikan perempuannya, namun masih harus menunggu kesepakatan keluarga korban.
Menko Polhukam dalam jumpa pers di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, Selasa mengatakan, pemerintah telah membayar "diyat" (pengganti darah) sebesar 7 juta riyal atau sekitar Rp21 miliar untuk membebaskan Satinah. Namun, pemerintah harus menunggu satu atau dua bulan ke depan hingga seluruh keluarga ahli waris korban sepakat memberikan maaf.
"Pada prinsipnya uang 7 juta riyal telah kami bayarkan dan sekarang sudah ada di Pengadilan Saudi. Tinggal menunggu perundingan keluarga korban," ujar Djoko.
Djoko menjelaskan butuh waktu lama untuk mendapatkan persetujuan dari keluarga korban. Pasalnya, mereka terdiri dari tujuh keluarga besar dan semuanya harus memberikan maaf. Satu saja yang tak mau memberikan maaf, maka klausul diyat tak akan tercapai.
"Semoga dalam satu bulan ke depan kita dapat berita baik karena semua sudah dipenuhi, tinggal perundingan dari keluarga," ucap Djoko, berharap.
Perundingan antara tim pemerintah dengan keluarga korban sempat alot karena pihak keluarga tersinggung dengan pernyataan-pernyataan pejabat di Indonesia yang justru memojokkan korban.
Kepala Tim Satuan Tugas Pembebasan Satinah, Muhammad Maftuh Basyuni mengatakan timnya sampai harus menemui tokoh-tokoh yang terpandang di sana. Sikap keluarga korban yang tak konsisten terhadap jumlah diyat juga membuat negosiasi semakin alot.
Namun, akhirnya angka diyat disepakati 7 juta riyal dari permintaan awal 15 juta riyal. Dengan kesepakatan itu, kata Maftuh, pemerintah Saudi tak akan mengeksekusi Satinah.
"Sudah ada jaminan dari kehakiman. Dan satu bulan ini sudah akan ada penyelesaian. Dengan kesepakatan ini terbukti tak ada mafia," katanya.
Dalam kesempatan itu, Maftuh mengecam ucapan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar yang menyatakan bahwa kinerja tim pembebasan Satinah tak becus.
"Kita disangka kurang menguasai Bahasa Arab, dan itu membuat pengurangan jumlah diyat gagal," keluh Maftuh.
Padahal, katanya, tim beranggotakan orang-orang kompeten, termasuk Duta Besar Indonesia untuk Arab Saudi. "Dubes yang mendampingi bahkan mimpinya saja berbahasa Arab," kata dia.
Maftuh justru kecewa dengan tak ada kontribusi berarti yang diberikan Kemenakertrans terhadap kasus itu.