Kamis 17 Apr 2014 09:15 WIB

Taharah Perspektif Ahli Hakikat (1)

Berwudhu (ilustrasi)
Foto: Reuters/Rayaz Kabli
Berwudhu (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar

Dalam perspektif ahli hakikat, taharah dilihat sebagai bagian dari penyucian jiwa (tadzkiyah al-nafs). Sama dengan ahli tarekat, ahli hakekat juga melihat penyucian anggota badan untuk menyucikan diri dari kontaminasi dosa.

Hanya saja bedanya ialah, kontaminasi dosa menurut ahli tarekat ialah mulut digunakan untuk mengorbankan orang lain atau mengkonsumsi barang tidak halal, mata digunakan untuk melihat yang haram, telinga lebih tertarik untuk mendengarkan musik ketimbang tartil Alquran, kaki dilangkahkan ke tempat maksiat. Sedangkan ahli hakikat tidak lagi mempersoalkan kontaminasi dosa. Yang dipersoalkan ialah ketika anggota badan diaktifkan bukan untuk kesadaran Ilahi.

 

Yang dimaksud kesadaran Ilahi di sini ialah segenap kesadaran diri tertuju hanya semata-mata kepada Allah SWT. Jika terselip kesadaran diri muncul tidak kepada Allah semata maka itu sudah dosa baginya. Karena itu, penyucian diri atau taharah bagi ahli hakikat selain untuk menyucikan diri seperti apa yang dikonsepsikan oleh ahli fikih dan ahli tarekat, juga untuk menyucikan diri dari musyrik kecil.

Yang dimaksud kemusyrikan kecil oleh ahli hakikat ialah ketika kita menyaksikan sesuatu selain Tuhan. Misalnya jika seseorang melihat pohon sebagai pohon, atau apa saja isi alam raya ini,  bukan tajalli atau madhhar Tuhan,  maka itu termasuk musyrik.

Bagi para ahli hakikat, mengidealisasikan segala apa saja yang dapat ditangkap oleh pancaindra lahiriah maupun pancaindra batiniah mestilah hanya Allah SWT, karena keberadaan yang banyak (al-katsrah) sesungguhnya hanya keberadaan semu. Hakikat keberadaan adalah tunggal (al-wahidiyyah).

Jika seseorang masih menggunakan penglihatan dan kesadaran lahiriyah (al-bashir) maka pasti mereka akan melihat keberadaan itu banyak.

Tetapi jika seseorang sudah menggunakan penglihatan dan kesadaran batiniyah (al-bashirah) maka ia akan melihat keberadaan itu tunggal, karena sudah mampu menangkap hakikat ikrar dirinya, La ilaha illa Allah (Tiada tuhan Selain Allah). Kalimat ini oleh ahli hakikat difahami sebagai La maujud illa Allah (Tiada kehadiran selain Allah).

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement