REPUBLIKA.CO.ID, SLAVIANSK--Pasca perundingan internasional di Jenewa untuk menghentikan krisis di Ukraina Timur, separatais pro Rusia berjanji akan terus menduduki gedung-gedung publik pada Sabtu (18/4). Washington juga bersikukuh mengancam akan memperberat sanksi jika aksi pendudukan tidak segera diakhiri.
Pemimpin pasukan bersenjata yang ditahan di Balai Kota bersama anggota pasukannya di beberapa titik termasuk di Donetsk menginginkan referendum bergaya Crimea untuk persatuan dengan Rusia. Mereka menolak perundingan bersama Ukraina, Rusia, AS dan Uni Eropa (UE) yang diadakan di Jenewa, Jumat (18/4).
Moscow sendiri juga bersikukuh mengatakan tak memiliki kendali atas 'gerombolan pria hijau' yang membawa senjata otomatis dan menyandera fasilitas publik itu bahkan sebelum pasukan Rusia memasuki Crimea. Alasan yang tidak bisa diterima Barat dan sekutunya.
Gedung Putih menyampaikan Presiden Barack Obama menginginkan Kremlin menggunakan pengaruhnya untuk membuat kelompok separatis meninggalkan gedung-gedung pemerintah dan fasilitas publik. Cara yang diyakini Washington dapat memberi dampak signifikan.
Washington mengancam sanksi ekonomi lebih berat yang akan semakin membebani Crimea jika Moskow gagal memenuhi kesepakatan Jenewa atau tetap mengirimkan pasukan ke perbatasan Ukraina.
''Kami percaya Rusia telah memikirkan dampak tindakan yang akan diambil terutama yang berkaitan dengan yang akan menimbulkan ketidakstabilan kondisi di timur Ukraina,'' kata penasihat keamanan nasional AS Susan Rice.
Jika AS tidak melihat aksi nyata yang menujukkan komitmen Rusia atas perjanjian di Jenewa, kata Rice, AS dan UE akan menambah denda atas Rusia.
''Denda san sanksi menargetkan sektor ekonomi signifikan perekonomian Rusia,'' kata juru bicara Presiden Vladimir Putin, Dmitry Peskov. Pemerintah Ukraina juga sepakat akan pentingnya pemberlakukan perundingan Jenewa secara berkelanjutan.
''Mereka tidak bisa memperlakukan Rusia seperti menghukum anak nakal. Bahasa semacam itu tidak bisa diterima,'' kata Peskov.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyampaikan AS sekali lagi 'cuci tangan' atas aksi otoritas Kiev yang menghentikan unjuk rasa secara represif di tenggara Kiev.
Pemerintah sementara Ukraina, yang menjalankan kekuasaan dua bulan setelah Presiden Viktor Yanukovich pergi ke Rusia, berada dalam tekanan atas opsi barter wilayahnya. Pasukan yang diterjunkan ke wilayah timur juga belum membawa hasil.
Perdana Menteri Ukraina Arseny Yatseniuk, tak begitu optimistik perundingan bisa menyelesaikan konflik di wilayah timur dan barat yang dinilai sudah mengalami krisis pasca Perang Dingin. Pasukan militan di wilayah itu dijanjikan amnesti jika mau kembali ke Ukraina.
Rusia membuat kondisi terlihat seperti perang sayap kanan fasis bagi mereka yang memaksa Yanukovich keluar dari Ukraina Februari lalu.
Di parlemen, kubu nasionalis berupaya mematahkan dasar hukum yang mengizinkan penggunaan bahasa Rusia, bahasa yang 46 juta populasi Ukraina.
Kritik atas Putin yang dituding mengendalikan media Rusia makin memanasi ketidak-adilan yang dirasakan warga Ukraina timur terhadap pemerintahaan Kiev saat ini.
Namun Rusia, yang disebut Ukraina dan Barat hendak mendirikan pemerintahan baru guna meluaskan pengaruhnya ke negara bekas Uni Soviet, mengatakan kelompok militan Donetsk berhasil dikalahkan saat pemerintahan Ukraina gagal membubarkan aksi masa di Kiev.
Barikade pasukan pemerintah yang mengepung Lapangan Kemerdekaan Maidan, berperan penting dalam menjatuhkan Yanukovich setelah ia menolak menggabungkan Ukraina dalam persatuan ekonomi UE pada November lalu.
Para aktifis yang masih mendiami Maidan bertekad melakukan apapun untuk tetap bertahan di sana hingga pemilihan presiden dilangsungkan 25 Mei mendatang.
Perundingan Jenewa berisi kesepakatan penarikan pasukan dan penghentian pendudukan fasulitas publik, jalan dan lapangan.