REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Keberadaan konsultan politik untuk memenangkan pemilu dinilai hanya menjadi parasit sistem demokrasi di Indonesia. Sebab, mekanisme yang mereka lakukan tidak sepenuhnya sejalan dengan ideologis serta visi-misi partai politik (parpol) tersebut.
Ketua Badan Penelitian dan Pengembangan DPP Partai Golkar Indra J Piliang mengatakan, kondisi tersebut sering terjadi pada pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Kandidat menggunakan jasa konsultan, namun programnya berbeda dengan kehendak parpol.
“Misalnya mereka menjanjikan penyelesaian kasus tertentu, namun tidak sesuai dengan anggaran APBD. Akhirnya mereka malah tersesat dan dikecam oleh masyarkat atas janjinya tersebut,” kata Indra dalam diskusi ‘Fenomena Konsultasi Politik dalam Industri Demokrasi’ di Warung Daun, Cikini Jakarta, Ahad (20/4).
Dia menambahkan, jika tidak ada keseragaman antara visi-misi parpol dan program kepala daerah, maka kandidat tersebut yang justru dirugikan. Keberadaan konsultan memang penting, namun kalau mereka tak punya pemahaman atas parpol dan sistem politik, maka hanya jadi parasit.
“Mereka harus paham, kepala daerah atau Presiden sekalipun harus didukung dengan kekuatan parlemen,” ujar dia.
Pengamat Politik UI, Hamdi Muluk menambahkan, tidak ada konsultasi politik, mereka hanyalah agen periklanan. Alasannya, orientasi parpol adalah memperoleh kemenangan sehingga, idelogis tak menjadi prioritas. Bagi mereka, konsultan parpol harus mampu menjual kandidatnya.
Menurutnya, hal tersebut yang menjadikan konsultan politik saat ini laku jelang pelaksaan pemilu. Mereka pun, dinilai tidak punya kesepahaman terhadap parpol tersebut, dan hanya berfikir bagaimana strategi serta konsep menarik untuk memenangkan kliennya.
“Berbeda dengan di Amerika, mereka itu punya chemistry dengan parpol tertentu sehingga, langkah yang diambil pun tidak melenceng dengan ideologi partai,” kata Hamdi.