REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- BCA mengklaim telah melakukan tata cara perpajakan yang benar sesuai dengan peraturan perpajakan. Sebagai wajib pajak, Presiden Direktur PT Bank Central Asia (BCA) Tbk, Jahja Setiatmadja mengaku, pihaknya telah memenuhi kewajiban dan menjalankan haknya sesuai prosedur.
"BCA tidak melanggar Undang-Undang maupun peraturan perpajakan yang berlaku," ujar Presiden Direktur BCA Jahja Setiaatmadja dalan Konferensi Pers mengenai perpajakan BCA tahun 1999 di Menara BCA, Jakarta, Selasa (22/4).
Keterangan Jahja terkait dengan penetapan mantan ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Hadi Poernomo sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kemarin. Hadi diduga terlibat kasus dugaan suap permohonan keberatan pajak yang diajukan BCA.
Jahja menjelaskan, pada 1999 terjadi perbedaan pendapat antara Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan BCA. Ia menjelaskan pada tahun 1998, BCA mengalami kerugian fiskal sebesar Rp 29,2 triliun yang merupakan akibat dari krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Berdasarkan Undang-Undang yang berlaku, maka kerugian itu dapat dikompensasi dengan keringanan pajak penghasilan atau tax loss carry forward. Keringanan pajak ini dimulai pada tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai dengan lima tahun.
BCA kemudian melaksanakan instruksi Menteri Keuangan No. 117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No. 31/15/KEP/GBI tertanggal 26 Maret 1999 karena 92,8 persen saham BCA masih dimiliki oleh pemerintah.
BCA diinstruksikan untuk mengalihkan aset-aset yaitu pinjaman macet pada saat itu dan pinjaman-pinjaman yang direstruktur termasuk agunan atau jaminan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Ditjen Pajak melihat kasus tersebut sebagai penghapusan kredit bermasalah (NPL). Padahal BCA menganggapnya sebagai pengalihan aset. "Terjadi perbedaan pendapat dalam hal ini," ujar Jahja.
Menurut dia, terdapat bukti-bukti nyata bahwa ketika itu BCA memang mengalihkan aset. Jika kebijakan tersebut adalah penghapusan NPL, saldo piutang macet tetap ada di BCA. Sedangkan setelah kejadian tersebut saldo piutang macet berpindah ke BPPN. "Jadi tidak ada lagi catatan tentang piutang macet di BCA setelah itu," ujarnya.
Setelah aset BCA berpindah ke BPPN, pada 2003, terdapat bukti dari BPPN bahwa terdapat agunan yang berhasil ditagih sebesar Rp 3,29 triliun yang menjadi milik BPPN dan bukan milik BCA.
"Karena aset BCA sudah dijual dan dialihkan ke BPPN, maka seluruh hasil penjualan sebesar Rp 3,29 triliun adalah milik BPPN, masuk ke pemerintah. Dengan begitu, tidak ada PPh yang harus dibayarkan oleh BCA dan tidak ada pemasukan dari recovery aset tersebut," ujar Jahja.
Lebih lanjut, Jahja mengungkapkan, atas transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun dengan BPPN, BCA menjual secara cuma-cuma alias gratis. Jahja mengatakan, perusahaan siap membeberkan bukti-bukti berupa korespondensi surat-menyurat yang merupakan instruksi dari dua instansi pemerintah yaitu Menkeu dan juga Gubernur BI.
Pada saat itu, Menteri Keuangan dijabat oleh Boediono dan Gubernur BI dijabat oleh Sjahrir Sabirin. "Jadi dari segi peraturan perpajakan kita merasa saat itu kita benar," tegasnya.
Selanjutnya sejak tahun 1999, BCA sudah mulai membukukan laba dimana laba fiskal tahun 1999 tercatat sebesar Rp 174 miliar. Namun, berdasarkan pemeriksaan pajak yang dilakukan pada tahun 2002, Ditjen telah melakukan koreksi laba fiskal periode 1999 tersebut menjadi sebesar Rp 6,78 triliun.
Di dalam nilai tersebut, terdapat koreksi yang terkait dengan transaksi pengalihan aset termasuk jaminan sebesar Rp 5,77 triliun yang dilakukan dengan proses jual beli dengan BPPN yang tertuang dalam Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan Piutang No.SP-165/BPPN/0600.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut, pada tanggal 17 Juni 2003, BCA mengajukan keberatan kepada Ditjen Pajak atas koreksi pajak yang telah dilakukan. Keberatan yang disampaikan oleh BCA diterima Ditjen Pajak dan dinyatakan dalam SK No. KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004.
"Aset-aset yang direstrukturisasi oleh BPPN itu sudah dijual senilai Rp 3,29 triliun, hasil penjualannya masuk ke BPPN. BCA tak dapat income dari situ," ujarnya.
Jahja mengatakan, seandainya Ditjen Pajak menolak permintaan BCA atas transaksi itu, perseroan masih dapat menggunakan kelonggaran pajak pendapatan karena perseroan masih memiliki kompensasi kerugian pajak tahun 1998 senilai Rp 7,81 triliun.
Kalau dikurangi koreksi transaksi senilai Rp 5,77 triliun, kompensasi kerugian BCA masih sisa senilai Rp 2,04 triliun. "Tapi sisa tax loss carry forward itu tak bisa dipakai lagi (hangus) setelah tahun 2003," ujarnya.