Oleh: Dr Irfan Syauqi Beik*
Akhir tahun 2012 lalu ada suatu kisah yang sangat tragis. Sebuah keluarga di wilayah kabupaten Bogor baru saja ditinggal wafat oleh ayah mereka.
Ternyata sang ayah meninggalkan utang sebesar Rp 500 ribu kepada seorang rentenir, yang datang menagih setelah sang ayah dimakamkan. Rentenir tersebut kemudian meminta pelunasan utang dilakukan dalam waktu satu minggu, dengan mengambil jaminan anak perempuan almarhum yang baru berusia tujuh tahun.
Menjelang tenggat waktu yang di minta sang rentenir, keluarga tersebut mengalami kebingungan karena belum memiliki uang. Hal yang sangat wajar mengingat status keluarga tersebut yang masuk kategori keluarga miskin.
Beruntung informasi ini bisa terdeteksi dan sampai kepada Baznas, yang kemudian segera melakukan aksi cepat melunasi utang almarhum dan mengambil kembali sang putri yang masih anak-anak tersebut.
Sementara di tempat lain, di satu wilayah di Nusa Tenggara Barat (NTB), seorang petani terpaksa bekerja serabutan akibat utangnya terhadap rentenir. Hal itu terjadi karena praktik gadai sawah yang dipraktikkan di wilayah tersebut.
Pola gadai sawah yang berkembang adalah ketika petani meminjam uang kepada rentenir, maka sawahnya harus digadaikan kepada sang rentenir sebagai jaminan. Lucunya, pengelolaan sawah diambil alih oleh rentenir tersebut dan hasilnya pun hanya berhak dinik mati olehnya, selama petani yang berutang itu belum melunasi utangnya.
Pola gadai sawah seperti ini menimbulkan dua kerugian bagi petani. Pertama, mereka harus membayar bunga yang tinggi kepada rentenir.
Kedua, sawah sebagai sumber penghidupan mereka, tidak bisa digunakan, sehingga mereka terpaksa beker ja serabutan untuk melunasi utang dan mencari nafkah bagi keluarga. Banyak diantara mereka yang akhirnya menjadi tukang ojek atau buruh kepada petani lain.
*Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB