Oleh: Rosita Budi Suryaningsih
Kembali ke Tanah Air, Fathurrahman mengabdikan diri sebagai pejuang kemerdekaan dan pendidik.
Ia mendirikan Madrasah Hidayat Islamic School, yang tersedia dari tingkat dasar, menengah pertama, hingga menengah atas.
Ia juga berjasa dalam pendirian sekolah Islam di jenjang perguruan tinggi. Bersama dengan Abdul Kahar Muzakkir, ia bisa mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI). Pada 1946, STI dipindahkan ke Yogyakarta berbarengan pemindahan ibu kota negara dari semula Jakarta, ke Kota Gudeg itu.
Seiring dengan perkembangan STI yang semakin besar, pada 22 Maret 1948 nama STI diubah menjadi Universitas Islam Indonesia (UII). Ia juga berhasil merintis lahirnya Perpustakaan Islam dan Poliklinik NU di Yogyakarta.
Dalam bidang politik, bersama teman-teman sejawatnya ia aktif dalam berbagai aksi menentang penjajahan, baik Belanda, Jepang, maupun Agresi Belanda kedua. Ia aktif mendukung organisasi yang memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, salah satunya Masyumi.
Kariernya sebagai politikus pun semakin gemilang. Pada 2 Oktober 1946, pada masa Kabinet Syahrir III, ia didaulat sebagai Menteri Agama, menggantikan HM Rasjidi. Ia menjadi orang NU kedua setelah KH Wahid Hasyim yang menyandang jabatan sebagai Menteri Agama.
Meski hanya dalam waktu singkat, hanya sekitar 10 bulan karena pada 26 Juli 1946 jabatannya sebagai Menteri Agama berakhir, namun ia banyak menorehkan kebijakan perbaikan struktur organisasi kementerian dan banyak berkontribusi dalam bidang pendidikan Islam di Indonesia.
Ia bisa merevisi peraturan-peraturan yang terkait dengan pencatatan nikah, talak, dan rujuk (NTR) yang ditetapkan dalam UU No 22 Tahun 1946.
Di dalam peraturan tersebut, ia menertibkan posisi penghulu, modin, dan sebagainya. Kebijakan lain yang diambilnya adalah yang menyangkut pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.