REPUBLIKA.CO.ID, KUALA LUMPUR -- Data Commonwealth Journalists Association (CJA) mencatat terhitung sebanyak 91 wartawan tewas pada 2013 dan lebih dari 24 untuk 2014. Organisasi PBB di bidang Pendidikan Ilmu Pengetahuan dan Kebudayaan (UNESCO) mengamati masalalah ini.
Presiden CJA, Rita Payne yang juga seorang freelance jurnalis mengatakan, catatan mengejutkan lainnya menunjukkan bahwa masih banyak wartawan di zona perang yang masih dipenjara atau terancam meninggal. Sementara laporan lain menunjukan, wartawan juga dibunuh, karena laporan dan tulisannya tentang kejahatan, kekerasan dan politik.
Payne mengatakan, biasanya wartawan dipenjara tanpa alasan yang masuk akal bahkan tanpa ada proses hukum. Banyak juga yang mendapatkan pelecehan di banyak negara dan bahkan di negara-negara yang mencanangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.
"Upaya para wartawan dalam melaporkan hal-hal untuk kepentingan umum dan mendapatkan acess sah ke informasi, sering terhalang oleh pemerintah,” kata Payne pada Rabu (30/4) dalam sebuah pernyataan untuk memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia pada 3 Mei mendatang.
Payne melanjutkan, CJA menentang kekerasan terhadap wartawan di seluruh dunia. Pihaknya menginginkan media yang bebas dan independen, yang bekerja tanpa takut intimidasi dan kekerasan fisik.
"Pemerintah otoriter terus berusaha untuk membungkam atau memanipulasi media dengan ancaman langsung atau intimidasi yang berkelanjutan, atau mencoba untuk memblokir akses internet," kata Payne seperti dikutip dari Bernama.