REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Iron and Steel Industry Association (IISIA) memastikan iklim industri baja dunia masih belum mengalami tanda-tanda terjadinya perbaikan yang dipicu belum membaiknya ekonomi dunia.
Direktur Eksekutif IISIA, Hidayat Trisepoetro saat dihubungi dari Jakarta, Kamis, mengatakan, beberapa industri besi dan baja dunia memang sudah ada perbaikan, namun sebagian masih mengalami kerugian sebagai akibat kondisi ekonomi global yang belum membaik.
Data Bloomberg, companies financial report menyebutkan kinerja 20 industri besi dan baja terbesar dunia (top 20) menunjukkan pada tahun 2013 sebanyak enam industri masih mengalami kerugian, sedangkan tahun 2012 sebanyak delapan industri mengalami kerugian.
Industri baja terbesar dunia yang mengalami kerugian adalah, Arcelor Mittal Luxembourg rugi 2,5 miliar dolar AS, Beijing Shougang Cina rugi 20 juta dolar AS, Tata Steel India rugi 1,1 miliar dolar AS, US Steel AS rugi 1,6 miliar dolar AS, Evraz Group Rusia rugi 522 juta dolar AS, Thyssenkrupp Jerman rugi 262 juta dolar AS.
Sedangkan untuk regional Asia Tenggara (Thailand dan Malaysia) termasuk Australia pada tahun 2013 hampir seluruh industri baja 10 industri mengalami rapor merah, begitu juga Korea mengalami nasib yang sama untuk dua industrinya yakni Dongkuk Steel dan Dongbu Steel.
Sedangkan di Eropa dan Amerika hampir seluruh industri mengalami kerugian pada tahun 2013.
Kondisi demikian, kata Hidayat, membuat industri baja di dalam negeri saat ini hanya mampu bertahan (survival) agar tidak mengalami kerugian lebih besar lagi.
Bahkan Hidayat mengatakan, IISIA sampai saat ini belum berani memprediksi kapan industri baja akan kembali pulih karena semua itu sangat bergantung kepada kondisi ekonomi dunia.
Menurut Hidayat, industri baja erat kaitannya dengan nilai tukar dolar AS dan harga baja dunia, kondisi saat ini harga bahan baku tinggi, sedangkan harga jual tertekan.
Krakatau Steel misalnya untuk produk HRC andalannya penjualan tertekan 13 persen, CRC 9 persen, wirerod 11 persen, baja profile 13 persen sebagai akibat belum membaiknya harga baja dunia ditambah fluktuasi nilai tukar dolar AS.
Dia mengatakan, kondisi ekonomi dunia yang belum pulih menjadi penyebab kerugian industri baja dunia saat ini belum ada yang dapat memprediksikan kapan akan membaik.
Ia mengatakan, dengan kondisi ekonomi dunia yang kurang menguntungkan seharusnya pemerintah mengambil langkah-langkah antisipasi untuk meringankan tekanan.
Dalam jangka pendek, menurutnya, seharusnya dapat dilakukan penataan pasar agar industri di dalam negeri dapat bertahan (survival). Salah satunya bersama-sama pemerintah mengatasi persoalan perdagangan curang (unfair) yang dilakukan sejumlah produsen baja untuk menghindari kerugian.
Saat ini banyak produsen baja besar dunia yang membanjiri produknya ke negara dunia ketiga dengan harga jauh lebih murah dibanding harga di dalam negeri.
Seperti transaksi non PPN yang marak terjadi di dalam negeri, baja non standard/banci, penyimpangan kode HS dan lainnya.