Oleh: Dr Irfan Syauqi Beik*
Pada praktiknya yang harus diperhatikan adalah jangan sampai logika bisnis komersial dicampuradukkan dengan logika sosial, seperti logika penyaluran zakat.
Sebagai contoh, penulis pernah ditanya dalam sebuah forum: boleh tidak dana zakat lembaga keuangan syariah (LKS) dipakai untuk mengatasi pembiayaan qardhul hasan yang diberikan kepada usaha mikro milik mustahik yang mengalami gagal bayar?
Gagal bayarnya bukan disebabkan oleh akhlak buruk nasabah, melainkan oleh masalah bisnis biasa. Sekilas, tentu saja diperbolehkan, karena nasabah pembiayaan tersebut masuk dalam kategori ashnaf zakat.
Namun jika ditelaah lebih dalam, terlihat bahwa LKS tersebut mencampuradukkan antara logika zakat dengan logika bisnis komersial.
Dalam logika bisnis komersial, tentu tidak ada lembaga yang mau rugi. Semuanya ingin untung. Hal ini sah-sah saja secara syariah selama prosesnya benar dan tidak melanggar agama.
Sementara di sisi lain, logika pe nyaluran zakat harus didasarkan pada semangat pemberdayaan dan trans formasi, yaitu bagaimana caranya mengubah mustahik menjadi muzakki.
Pada kasus di atas, terlihat bahwa LKS tersebut “seolah” tidak mau rugi, karena kerugiannya akibat pembiayaan macet telah ditalangi oleh zakat. Dan bagi nasabah dhuafa, dampak buruk yang diterimanya semakin bertambah.
Di satu sisi usahanya mengalami kegagalan dan kebangkrutan, sehingga menghilangkan sumber penghasilannya, dan di sisi lain, peluangnya untuk mendapat bantuan zakat pada kondisi seperti ini menjadi hilang.
Jika LKS bisa memisahkan antara logika bisnis komersial dengan zakat, maka yang akan dilakukannya adalah mencatat pembiayaan macet dari nasabah dhuafa itu sebagai bagian dari nonperforming financing sehingga bisa dihapuskan (ini bisa dikategorikan sebagai sedekah), dan membayarkan zakatnya pada amil (Baznas/LAZ) untuk kemudian disalurkan kepada nasabah tersebut. Inilah yang dimaksud dengan memperkuat sisi sosial LKS.
Selain itu, penulis berharap agar penguatan sisi sosial ini juga diarah kan ke lantai bursa. Yang bisa dilakukan antara lain adalah dengan menambah indikator saham syariah, yaitu penunaian kewajiban zakat perusahaan.
Jika perusahaan tidak berzakat, maka nilai kesyariahannya berkurang, bahkan bisa dianggap tidak syariah jika mereka menolak untuk berzakat dengan berbagai dalih.
*Ketua Prodi Ekonomi Syariah FEM IPB