Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Hubungan antara Tuhan dan hamba ini melahirkan konsep Tuhan (Rab) dan hamba (marbub), Ilah dan Ma'luh, Khalik dan makhluk.
Dalam konteks ini seolah-olah kalangan dan ini yang banyak ditentang oleh para teolog—beranggapan Tuhan butuh terhadap makhluk, karena eksistensi sebuah kata meniscayakan sebuah kata lainnya, atau di dalam hubungan polaritas-dialektis, eksistensi satu sisi meniscayakan eksistensi sisi lainnya.
Bukankah tidak akan ada budak tanpa ada tuan, tidak ada Rab tanpa marbub, tidak ada Ilah tanpa ma'luh, tidak ada makhluk tanpa Khalik, dan tidak ada ma'lum (objek pengetahuan) tanpa Alim (subjek yang mengetahui).
Tentu, demikian pula sebaliknya, sulit membayangkan adanya tuan tanpa ada budak, ada marbub tanpa ada Rab, adanya Khalik tanpa ada makhluk, dan adanya Alim tanpa ada ma'lum?
Alasan para sufi berpendapat demikian, karena bukankah nama-nama dan sifat Tuhan memerlukan adanya berbagai lokus atau tempat manifestasikan dan mengaktualisasikan diri?
Dengan kata lain, tanpa lokus maka nama-nama dan sifat Tuhan tidak mungkin dapat teraktualisasi. Jika itu semua tidak bisa teraktualisasi maka menjadi tidak berarti nama-nama dan sifat itu.
Jika nama-nama dan sifat itu tidak punya arti maka untuk apa Tuhan memperkenalkan kapasitas Wahidiyat-Nya?
Padahal, dalam artikel-artikel terdahulu sudah dijelaskan bahwa Tuhan dengan penuh perencanaan menciptakan makhluk-Nya untuk mengenal diri-Nya, sebagaimana disebutkan dalam Hadis Qudsi yang terkenal dalam dunia tasawuf itu.