REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik dari Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi menegaskan jika sistem politik sekarang ini akan selalu memunculkan politik perburuan rente. korupsi, dan penyalahgunaan kekuasaan. Karena itu, wajar jika politik uang di Pemilu 2014 ini paling brutal, masif, dan menjijikkan.
Hampir semua caleg melakukan money politics mulai dari 400 sampai 600-an amplop yang dibagikan dengan jumlah uang yang berbeda-beda. Uang yang dibagi antara Rp 20 ribu sampai Rp 50 ribu. Sayangnya politik uang yang brutal itu tidak terdeteksi oleh Bawaslu. "Jadi, sistem proporsional terbuka itu memberi insentif politik uang lebih besar, karena mendorong politik berbasis kandidat, hanya laporan dananya oleh partai, bukan caleg dan itu tak diatur oleh UU No.8 tahun 2012 tentang pemilu, sehingga tidak bisa dipertanggung jawabkan dan tidak transparan,” tegas Burhanuddin Muhtadi dalam dialog ‘‘Refleksi dan eveluasi pileg 2014’ , di Gedung MPR RI Jakarta, Senin (5/5).
Konsekuensi lainnya kata Burhanuddin, jika kursi yang diprebutkan di daerah pemilihan itu lebih banyak, maka uang yang digelontorkan juga lebih banyak. Namun, kalau konstituen yang lebih kecil, maka uang juga akan lebih besar dalam jumlah pembelian suara. “Itu, yang harus diantisipasi dan rakyat tidak terbuka dengan money politics dan terbanyak dilakukan oleh DPRD Kabupaten/Kota, DPR RI, dan DPRD Provinsi. Ditambah lagi pengepul suara pra bayar dan pasca bayar,” katanya.
“Jadi, money politics itu ibarat rakyat yang mau menipu perampok besar di DPR, karena selalu dipertontonkan dengan korupsi. Tapi, demokrasi ini sistem pemilu yang terbaik dari yang terburuk. Tinggal menyempurnakan yang kurang. Memang berbeda dengan agama misalnya, yang berangkat dari kesempurnaan, sehingga anti kritik,” pungkasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR RI Lukman Hakim Saifuddin menegaskan jika slogan suara rakyat yang populer sebagai ‘Suara rakyat suara Tuhan’ itu tidak relevan lagi dalam pemilu 2014. Alasannya, karena suara rakyat sudah berubah dengan maraknya politik uang, atau money politics. Apalagi money politics dan manipulasi suara itu berlangsung luar biasa, masif, brutal, dan menjijikkan. Padahal, politik uang pada pileg 2009 tidak setelanjang dan sedahsyat pileg 2014 ini.
“Atas semua proses pemilu yang memprihatinkan ini, tetap harus kembali pada konstitusi. Yaitu peserta pemilunya partai politik, berbasis partai politik, dan dengan mengambil potensi kecurangan dan politik uang yang lebih ringan,” tegas Lukman.
Menurut Lukman, Pemilu 2014 ini lebih buruk dari sistem proporsional tertutup yang dilakukan pada Pemiu 2004. Akibatnya, sekarang ini banyak kader politik yang baik dan bahkan tokoh agama yang kalah dengan cakeg berbasis uang banyak. Untuk itu pada pemilu yang akan datang (Pemilu 2019) mestinya kembali dengan sistem proporsional tertutup.
‘’Namun sebelum itu nantinya maka setiap partai harus terlebih dulu melakukan pemilu internal dalam menjaring caleg. ‘’Sistem Pemilu 2019 ini harus benar-benar dikaji dan diperbaiki dengan mempertimbangkan berbagai dampaknya. Apalagi pemilu 2019 itu nantinya akan berlangsung serentak. Maka pembahasan RUU Undang-Undang Paket Politik terkait dengan Pemilu 2019 haruslah menjadi beban tugas utama para pimpinan DPR RI dan Kemendagri ke depan. Kami berharap pada tahun ketiga (2017) RUU inu sudah selesai dibahas dan sudah siap disosialisasikan,” pungkasnya.