REPUBLIKA.CO.ID, SUBANG -- Puluhan siswa SDN Notosari, Dusun Talansari, Desa Ciasem Hilir, Kecamatan Ciasem, Subang, Jawa Barat, belajar dalam kondisi memrihatinkan. Pasalnya, sejak bertahun-tahun sekolah mereka rusak parah. Jadi, untuk tetap mengikuti kegiatan belajar dan mengajar (KBM), anak-anak ini harus membawa tikar dari rumah masing-masing.
Wulan Utanti, salah seorang siswi kelas empat SDN Notosari, mengatakan, selama lima tahun dirinya setiap hari rutin membawa tikar ke sekolah. Sebab, jika tak membawa tikar, anak-anak ini tidak bisa belajar. Jadi, tikar yang dibawa itu sebagai alas duduk pengganti meja dan kursi. "Awalnya susah, belajar beralaskan tikar. Tapi, sekarang sudah biasa," ujarnya kepada ROL dengan wajah lugu, Senin (5/5).
Menurut Wulan, sekolahnya ini hanya memunyai empat ruang kelas. Dari ruangan itu, hanya satu kelas yang berfungsi maksimal. Yakni, digunakan untuk siswa kelas enam. Sedangkan, yang lainnya belajar di ruang kelas yang kondisinya sudah mirip dengan gudang.
Kalau musim panas, pelajaran tak terganggu. Sebab, ruangan gudang yang digunakan untuk KBM tidak kehujanan. Tetapi, kalau musim hujan, belajar Wulan dan teman-temannya terganggu. Karena, atap ruangan mereka banyak yang bocor. Serta dinding temboknya tak lagi utuh. "Kami ingin, sekolah ini bisa diperbaiki. Supaya, kami bisa belajar dengan baik," ujar Wulan.
Sementara itu, Kepala Sekolah SDN Notosari, Nur Jaeni, mengatakan, sekolah ini jauh dari perkotaan. Sekolah ini, kali pertama dibangun sejak 1981 yang lalu. Sampai sekarang, sekolah ini baru mendapat bantuan rehab hanya sekali. Yakni, pada 2007 yang lalu."Tapi, saat perehaban itu hanya memerbaiki atapnya saja. Sedangkan, tembokmdan lantainya tak diperbaiki," ujarnya.
Nur menyebutkan, sekolahnya ini hanya memiliki empat ruang kelas. Padahal, idealnya setiap SD memiliki enam kelas. Parahnya lagi, dari empat kelas yang ada hanya satu ruang kelas yang kondisinya bagus. Sisanya, memrihatinkan semua.
Tak hanya itu, meja dan kursi untuk belajar juga sudah rusak semua. Sebab, sejak 1981 alat-alat pendukung belajar itu tak kunjung diganti. Sehingga, sangat wajar bila setiap harinya anak-anak selalu membawa tikar untuk alas belajar.
Meskipun dalam kondisi serba terbatas, lanjut Nur, puluhan muridnya ini tetap semangat ke sekolah. Setiap hari mereka membawa tikar. Di atas tikar itulah, generasi penerus ini memerhatikan guru yang sedang menerangkan pelajaran.
Jika terlalu lama duduk, mereka bisa menulis atau mendengarkan guru dengan cara tengkureb. Namun, mereka tetap semangat untuk datang belajar ke sekolah ini. "Semangat anak-anak ini, yang jadi motivasi kami untuk tetap hadir ke sekolah," ujarnya.
Sebenarnya, pihanya telah lama mengusulkan supaya sekolah ini mendapat bantuan. Tetapi, hingga kini belum ada perhatian serius baik dari pemerintah daerah ataupun pusat. Dengan begitu, pihaknya tak mengetahui kapan SDN ini layak seperti sekolah lainnya.