Oleh: Prof Dr Nasaruddin Umar
Dalam perspektif tasawuf, hubungan primer Allah dan makhluknya terjalin bagaikan langit dan bumi, jiwa dan roh, dan Yang dan Yin.
Tuhan adalah Mahaagung, Mahatinggi, Mahaterang, dan Mahakreatif, sedangkan makhluknya kecil, rendah, gelap, dan reseptif atau menerima pengaruh.
Dari hubungan seperti ini, Tuhan adalah Yang dan makhluk adalah Yin. Disebut demikian karena Tuhan memberi pengaruh (Mu'atstsir/Yang) dan makhluk menerima pengaruh (ma'tsur/Yin).
Di dalam mengimplementasikan kapasitasnya sebagai khalifah alam semesta (khalaif al-ardl), manusia (mikrokosmos) juga mempunyai kapasitas Yang, karena ia harus memberi pengaruh terhadap alam semesta (makrokosmos) sebagai Yin.
Kapasitas Yang yang diperoleh manusia tentu berbeda dan tak dapat dibandingkan dengan kapasitas Yang Tuhan. Kapasitas Yang pada diri manusia tetap dalam kapasitasnya sebagai hamba ('abid) di mana manusia secara total harus tunduk dan patuh kepada Tuhan sebagai Ma'bud.
Allah sendiri dalam kapasitasnya sebagai Tuhan (Rab dan Ilah) mempunyai kapasitas Yin, karena Ia mencipta dan memelihara makhluk-Nya dengan penuh kasih sayang. Dengan demikian, selain memberi pengaruh (mu'atstsir) dalam kapasitasnya sebagai al- Jalal, Ia juga menerima pengaruh (Ma'tsur) dalam kapasitas-Nya sebagai al-Jamal.
Namun demikian, kapasitas Jamaliyyah Tuhan tentu tidak bisa disetarakan dengan jamaliyyah manusia. Bagaimanapun manusia sebagai bagian dari makhluk dan hamba terikat kepada Tuhan.
Allah sebagai Tuhan "membutuhkan" hamba untuk disebut sebagai Tuhan, karena sulit membayangkan Sosok Tuhan tanpa hamba. Sebaliknya, manusia tidak mungkin ada dan mewujud sebagai hamba tanpa adanya Tuhan yang menciptakan dan sekaligus sebagai Tuhannya.
Dengan demikian, Tuhan dan hamba saling membutuhkan dalam kapasitas yang berbeda. Relasi hamba kepada Tuhan adalah menyembah (ta'abbud) dan relasi Tuhan terhadap hambanya adalah memberi anugerah (isti'anah).