REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi
Undangan itu hanya untuk kalangan internal komunitas Muslim Belanda. Tapi, akhirnya undangan yang disebar melalui media sosial terpublikasikan juga.
Lalu, kritik dan tekanan mengemuka agar acara mengenang korban pembersihan etnik Palestina dibatalkan.
Kegiatan pada Ahad (4/5) sore di masjid wilayah Kota Hilversum itu memang bertepatan dengan hari bagi Belanda untuk mengenang korban Nazi.
Kritik media muncul dengan berita mengapa mengaitkan agresi Israel ke Palestina dengan holocaust oleh Nazi.
Sebanyak 40 keluhan dilayangkan kepada pemerintah kota yang menyesalkan penggunaan kata holocaust tersebut.
Wali kota pun menekan dan akhirnya pengurus masjid membatalkan acara. Mereka tak ingin ada kejadian yang tak diharapkan dan merugikan citra umat Islam.
“Kami menemukan lokasi alternatif, tapi tak akan kami publikasikan agar kejadian serupa tak terulang,” kata Abou Hafs (31 tahun), salah satu pembicara acara peringatan itu kepada laman berita Onislam.
Penggagas acara, organisasi Muslim bernama Platform Bewust Moslim, memang mengusung Palestine, the Shadow Holocaust.
Inilah yang menyulut media bersuara. Hafs menyesalkan kejadian itu. “Kami tak berniat memprovokasi siapa pun dengan istilah tersebut.”
Bahkan, ia mengungkapkan, panitia tak mengundang media apa pun untuk meliput perhelatan tersebut. Meski demikian, ia beralasan ada tujuan penggunaan istilah shadow holocaust. Mestinya, itu tak hanya digunakan untuk satu sejarah pembersihan etnik Yahudi oleh Nazi.
Hafs menjelaskan, saat Shimon Peres menjabat sebagai menteri di pemerintahan Israel, ia menggunakan istilah holocaust untuk menggambarkan pengeboman di Hiroshima, Jepang. “Seperti dia, kami menggunakannya untuk kasus Palestina.”
Ia mengakui, kalau dilihat jumlah kematian, holocaust di Eropa memakan lebih banyak korban. Tapi, itu bukan berarti mekanisme pembersihan etnik di Palestina sesuatu yang berbeda. Hafs pun memandang Belanda menerapkan standar ganda.
Sangat memalukan, pemerintah tak konsisten dalam pendekatannya terhadap Muslim. Pada saat Muslim merasa dihina, misalnya kasus kartun Muhammad, Pemerintah Belanda menyatakan setiap orang berhak menyampaikan pandangannya termasuk melalui kartun.
“Namun, ketika menggunakan kebebasan berbicara, pemerintah menekan kami dengan argumen subjektif kegiatan kami akan menghinakan orang lain,” kata Hafs.
Abou Maariya (26 tahun) mengatakan kegiatan itu sangat menarik, tapi mengapa harus dibatalkan. Mualaf ini membayangkan banyak uraian dan gambaran menarik dari para pembicara.
“Saya menganggap kritik terhadap acara ini kekanak-kanakan dan reaktif. Kami hanya ingin berada di masjid kami mengenang warga Palestina yang menjadi korban Israel,” ujarnya.