REPUBLIKA.CO.ID, SURABAYA -- Sejumlah pengembang properti enggan membangun rumah tapak bersubsidi pada beberapa proyek huniannya karena keuntungan minim jika dibandingkan saat memenuhi permintaan rumah kelas menengah.
"Dengan besarnya biaya untuk satu unit rumah tapak bersubsidi, pengembang hanya mendapatkan keuntungan sebesar Rp 20 juta," kata Ketua Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Jawa Timur, Supratno di Surabaya, Kamis (8/5).
Padahal, ungkap dia, jika dihitung secara rinci maka nilai keuntungan pengembang jauh lebih besar ketika membangun rumah menengah dengan harga minimal Rp 250 juta per unit yakni dapat mencapai Rp 100 juta per unit. "Untuk itu, tak heran kalau sangat sedikit pengembang yang mau membangun rumah tapak bersubsidi. Dari sekitar 60 pengembang yang menjadi anggota Apersi Jatim, tahun lalu hanya bisa merealisasikan sekitar 15 ribu unit rumah tapak bersubsidi," ujarnya.
Pencapaian tersebut, jelas dia, masih sangat jauh dibandingkan target pemerintah terhadap pembangunan rumah tapak bersubsidi di Jatim sebesar 20 ribu unit rumah. "Namun, dengan segala cara kami tetap mengupayakan agar target pembangunan rumah tapak bersubsidi dari pemerintah bisa terwujud pada tahun ini," ucapnya.
Mengenai kendala lain membangun rumah tapak bersubsidi, tambah dia, hal itu juga terlihat dari biaya pembangunan rumah tapak bersubsidi yang seharusnya diserahkan pada mekanisme pasar. Walau begitu, saat ini harga tanah per meternya kian tinggi. "Faktor itulah yang memberatkan kami. Apalagi di kota besar," katanya.
Ia mencontohkan, harga tanah di Surabaya dapat mencapai Rp 6 juta per meter persegi. Oleh karena itu, jika harga jual satu unit rumah tapak bersubsidi tipe 36 ditetapkan sebesar Rp88 juta maka idealnya harga tanah bisa di bawah Rp 100 ribu per meter per segi. "Tapi, harga tanah yang kami inginkan justru bisa ditemukan di kota penyangga atau bukan di ibu kota," tukasnya.
Ia melanjutkan, dari aspek tersebut maka bisa menggambarkan bahwa target pembangunan rumah tapak bersubsidi semakin sulit untuk direalisasi di pasar properti nasional. Di sisi lain, kini muncul wacana baru di mana kebijakan pemerintah kembali tidak berpihak guna memberi kemudahan ketersediaan rumah tapak bersubsidi. "Salah satunya, pemerintah siap untuk menghapus Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) mulai tahun 2015," katanya.