REPUBLIKA.CO.ID, WARUNG BUNCIT - Wakil Sekretaris Jenderal Partai Golkar Nurul Arifin berpendapat, pelaku kekerasan seksual pada anak pantas dihukum mati. Sebab, hukuman mati bakal berpengaruh besar ketimbang hukuman penjara 15 tahun.
"Nyatanya, jumlah kasus kekerasan seksual terhadap anak banyak sekali," kata Nurul di Jakarta, Rabu (7/5). Menurut dia, perlu ada hukuman yang membuat pelaku jera. "Dan, kasus serupa tidak akan terjadi kembali," ucap dia.
Nurul juga mendukung pengumpulan satu juta tanda tangan petisi untuk mendesak revisi Undang-Undang No 23/ 2002 tentang Perlindungan Anak. "Belum kasus JIS (Jakarta International School) selesai, muncul lagi kasus serupa dengan jumlah korban yang jauh lebih banyak. Ini tentu tamparan bagi pemerintah yang kurang memerhatikan perlindungan bagi anak," kata perempuan berusia 47 tahun ini.
Ia yakin masih banyak kasus serupa yang belum terungkap oleh pihak kepolisian maupun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Nurul meminta pemerintah meningkatkan perlindungan terhadap anak. "Tentu pemerintah dan KPAI tidak bisa bergerak sendiri. Pengawasan terhadap keamanan anak menjadi kewajiban para orang tua. Jangan sampai lalai dan menyalahkan sana-sini," kata dia.
Politikus kelahiran Bandung, Jawa Barat, 18 Juli 1966, itu melanjutkan, "Pemerintah dan KPAI juga mendukung partisipasi orang tua dalam menjaga keamanan anak."
Berbicara terpisah, Komisioner KPAI Susanto meminta pemerintah melakukan upaya pencegahan, baik di tingkat regulasi, kebijakan khusus, maupun program perlindungan anak di bawah umur. KPAI, kata dia, juga mengusulkan UU Perlindungan Anak yang hanya menjerat pelaku dengan maksimal hukuman 15 tahun penjara direvisi. "Kami mengusulkan kasus kekerasan seksual harusnya dijerat minimal 15 tahun penjara agar ada efek jeranya," kata Susanto saat menyambangi Polres Bogor, Rabu (7/5).
Kedatangan KPAI ke Polres Bogor untuk berkoordinasi terkait kasus AD (15 tahun), korban penyekapan dan pelecehan seksual yang dilakukan tiga pemuda. KPAI meminta pemeriksaan terhadap AD ditunda sebab siswi kelas tiga SMP negeri di Kabupaten Bogor itu sedang mengikuti ujian nasional (UN).
Susanto mengatakan, pihaknya bakal berkonsentrasi melakukan pengawasan menyusul kasus kekerasan seksual pada anak yang belakangan mencuat. "Kami fokus pada pelaku. Sesuai dengan informasi yang diterima, tersangka sepertinya telah terlatih," kata dia.
AD diperkosa tiga pemuda di sebuah kontrakan di kawasan Cibinong, Bogor, Sabtu (3/5). Ia diperkosa tiga pemuda setelah sebelumnya dibius pada Sabtu malam. Setelah menggilir AD, tiga pelaku menyekapnya di sebuah kamar dengan pintu terkunci. Pada Ahad (4/5) pagi, AD kembali diperkosa secara bergiliran oleh tiga pelaku hingga akhirnya AD bisa melarikan diri. Tiga pelaku, yakni AS (16), AF (20), dan DE (21), kini sudah diamankan polisi.
Kasat Reskim Porles Bogor AKP Didik Purwanto mengatakan, pihaknya belum melakukan visum terhadap korban karena sedang mengikuti UN."Kami masih mendalami kasusnya untuk mendapatkan fakta-fakta baru dan menunggu korban selesai ujian untuk mendapatkan hasil visum," kata dia.
Ketua Pusat Kajian Gender dan Seksualitas Universitas Indonesia Irwan M Hidayana, Rabu (7/5), meminta pendidikan seks diberikan di sekolah. Sebab, menurut dia, "Banyaknya pelecehan dan pecabulan karena masyarakat masih menganggap seks sesuatu yang tabu dan tidak boleh dibicarakan."
Irwan berpendapat, kasus yang dialami AD dipicu banyak hal, salah satunya karena minimnya pendidikan seks di sekolah dan masyarakat. "Pengetahuan seks masih sangat dibatasi," tutur dia.
Dosen Antropologi UI itu menuturkan, informasi yang tidak selektif dan tidak ada keterbukaan masalah seksualitas membuat remaja mencari tahu ke tempat yang tidak semestinya. "Jika tidak ada pengetahuan tentang seks, anak dan remaja akan belajar lewat pengalaman mereka sendiri," ucap dia.