REPUBLIKA.CO.ID, TRIPOLI -- Oposisi yang menduduki pelabuhan minyak utama di Libya timur mengatakan mereka akan memboikot Perdana Menteri Ahmed Maiteeq, Rabu (7/5).
Mereka juga akan terus menutup dua terminal ekspor utama. Tindakan itu akan berdampak besar bagi pemulihan ekspor minyak penting.
Kelompok oposisi memperingatkan mereka akan mengambil tindakan jika pemerintah tidak memenuhi perjanjian untuk membuka kembali pelabuhan minyak.
"Belum ada hal yang dilakukan," ujar Abd-Rabbo al-Barassi yang menyatakan diri sebagai perdana menteri dari pihak oposisi, seperti dilansir Reuters, Rabu (7/5).
Ia menuduh Ikhwanul Muslimin dan kelompok Islamis lainnya di parlemen merusak perjanjian dan mencoba mengambil alih pelabuhan. Tiga tahun sejak Muammar Gaddafi dikudeta, perebutan energi menjadi faktor pemicu gejolak di Libya.
Pendahulu Maiteeq, Abdullah al-Thinni bersepakat dengan oposisi untuk membuka kembali empat pelabuhan. Namun, hanya pelabuhan kecil Hariga dan Zueitina yang diserahkan kepada pasukan pemerintah.
Kedua belah pihak sepakat mengadakan pembicaraan lebih lanjut mengenai terminal ekspor yang lebih besar, Ras Lanuf dan Es Sider.
Barassi mengatakan pihaknya tidak akan melakukan pembicaraan dengan Maiteeq karena menurutnya dia menjabat secara ilegal. Maiteeq dilantik Ahad pekan lalu.
"Abdullah al-Thinni perlu menjelaskan atau menunjuk seseorang untuk menjelaskan mengapa ada penundaan dan kesepakatan belum dilaksanakan," kata Barassi dalam televisi milik oposisi.
Jika pemerintah benar-benar menjalankan kesepakatan, Barassi menambahkan pihaknya akan melakukan langkah-langkah tertentu. Dia tidak menjelaskan langkah apa yang dimaksud. Namun, juru bicaranya Ali al-Hasi mengatakan hal itu berarti meminta kepala suku mempertimbangkan apakah pelabuhan yang dibuka akan ditutup kembali.
Barassi mengatakan diperlukan pembicaraan lebih lanjut mengenai syarat-syarat terbaru untuk membuka kembali pelabuhan Ras Lanuf dan Es Sider. Pejabat tinggi Ibrahim Jathran mengatakan oposisi menginginkan diberlakukan sistem pemerintahan federal dan kekayaan minyak di kawasan.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari pemerintah.