Sabtu 10 May 2014 05:00 WIB

Pengamat Hukum: Sertifikasi Halal Sangat Dinantikan

Rep: c64/ Red: Bilal Ramadhan
Sertifikasi Halal.    (ilustrasi)
Foto: Republika/ Tahta Aidilla
Sertifikasi Halal. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK-- Sertifikasi halal merupakan hal yang penting bagi masyarakat muslim di Indonesia, namun kemudahan untuk memperoleh produk halal tidak sebanding dengan harapan seluruh umat islam di Indonesia.

Dalam hal ini Lembaga Kajian Ilmu Hukum Islam Universitas Indonesia mengadakan sebuah seminar nasional mengenai 'Sertifikasi Produk Halal : Urgensi dan Polemik di Indonesia', kegiatan ini dilaksanakan di Auditorium Fakultas Hukum Univ Indonesia, Jumat (9/5).

"Sertifikasi produk halal merupakan sesuatu yang sangat dinantikan oleh masyarakat Indonesia khususnya oleh para umat muslim di Indonesia," ujar Uswatun Hasanah, Guru Besar Fakultas Hukum Univ Indonesia dalam sambutan yang disampaikannya.

Ia melanjutkan, terdapat hal yang kurang penerapan sertifikasi halal ini yaitu undang-undang yang mendukung sertifikasi halal, karena hingga saat ini sertifikasi halal hanya bersifat sukarela. Oleh karena itu, sangat dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia untuk segera mensahkan Rancangan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH).

Namun, kata Uswatun dalam sambutannya, lembaga yang berhak mengeluarkan sertifikasi halal adalah orang-orang mempunyai kompetensi dalam hal kehalalan produk makanan, obat-obatan maupun yang lainnya.

Sejak tahun 2005 RUU Jaminan Produk Halal mulai diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. RUU JPH ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum atas kehalalan produk-produk yang beredar di Indonesia kepada masyarakat muslim Indonesia.

RUU ini menyatakan status serifikasi yang pada awalnya bersifat sukarela menjadi sebuah keharusan dan wajib dimiliki oleh setiap produsen dan bagi yang melanggar dapat dikenakan sanksi pidana. Namun, RUU tersebut tak kunjung selesai dengan cepat dan tidak sesuai dengan  harapan masyarakat yang ingin disegerakan RUU Jaminan Produk Halal.

Lukmanul Hakim, Ketua Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Komestik MUI Pusat mengatakan, RUU Jaminan Produk Halal merupakan salah polemik yang terjadi pada sertifikasi halal saat ini.

Disebutkan olehnya, polemik sertifikasi halal yang saat ini dialami khusus oleh LPPOM MUI, terkait sifat sertifikasi halal, kewenganan produk hala, dan lembaga tersebut merupakan lembaga yang dibawa oleh pihak atau instansi apa.

"Saat ini saja sertifikasi halal masih bersifat sukarela atau voluntary dan bagaimana status sertifikasi halal seharusnya. Bagi kami MUI sertifikasi ini harus merupakan Mandatory atau kewajiban/keharusan," ujarnya.

Ia menambahkan, untuk menentukan halal atau tidaknya harus dilihat sisi budaya/culture di Indonesia yang mayoritasnya ada masyarakat muslim dan menginginkan produk yang baik dan halal. Sebuah keinginan masyarakat untuk mendapatkan perlindungan pangan dan  produk halal merupakan Hak Asasi Manusia yang tidak bisa diabaikan.

"Polemik selanjutnya adalah terkait kewenangan, seharusnya jaminan produk halal ini haruskah merupakan kewenangan pemerintah, ormas-ormas atau MUI ?," kata Lukmanul Hakim.

Menurutnya, sertifikasi jaminan produk halal harus independen yang bebas terkait dengan bidang politik, kekuasan, kepentingan dan didalamnya harus ada para ulama yang mempunyai kompentensi dalam bidanga kehalalan. "Menurut kami MUI yang menjadi wadah atau payung kehalalalan," katanya.

Hal itu dikarenakan, MUI merupakan wadah dan payung para ulama untuk menghindari perbedaan fatwa. Terlebih dengan produk kehalalan merupakan hal yang sangat urgensi dan penting untuk masyarakat muslim di Indonesia. Peran MUI dapat menghindarkan adanya konflik horizontal antar ormas-ormas di Indonesia terkait fatwa kehalalan.

"Cost Production juga akan meningkat apabila tidak dipegang oleh satu lembaga atau payung, kita lihat apabila adanya kebebasan sertifikasi halal oleh banyak pihak maka harus buat berapa sertifikasi halal untuk produk-produk itu," ujarnya.

Terakhir terkait polemik sertifikasi halal adalah lembaga tersebut berada dibawah siapa, presiden kah, menteri kah atau swasta ?, hal tersebut disampaikan oleh Lukmanu Hakim.

Dijelaskannya, ketidakjelasan kewenangan dan lembaga yang mengaturnya membuat lobi internasional melemah dan sulit untuk bekerja sama dengan negara lain terkait produk-produk halal.

"Selain sertifikasi halal harus ada juga madatory labelisasi karena tidak bisa terlepas dari sertifikasi."  kata Ketua LPPOM.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement