REPUBLIKA.CO.ID, NAY PYI TAW -- Perilaku agresif Cina di Laut Cina Selatan menjadi topik utama dalam konferensi tingkat tinggi ASEAN di Myanmar, Ahad (11/5).
Kasus terbaru dalam sengketa maritim tersebut adalah saat kapal Cina menabrak kapal Vietnam di dekat Kepulauan Paracel.
Laut Cina Selatan adalah salah satu jalur pelayaran paling penting di dunia. Jalur ini kaya akan ikan dan diyakini mengandung cadangan minyak dan gas bumi yang signifikan.
Namun, beberapa negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) tampaknya tidak ingin perselisihan itu mengganggu hubungan ekonomi dan politik mereka dengan negara Tiongkok.
Kantor Berita AP melaporkan, rancangan pernyataan penutup yang akan dibaca oleh tuan rumah Myanmar tidak menyebutkan Cina secara langsung.
Pernyataan hanya menyebut para pemimpin negara menyadari seriusnya permasalahan itu dan perlunya menahan diri dan resolusi damai terhadap perkembangan yang terjadi di Laut Cina Selatan.
Presiden Filipina Benigno Aquino III menegaskan, pihaknya ingin ada tindakan tegas terhadap Cina. Dia mengatakan akan menggalang dukungan terhadap sengketa wilayahnya dengan Cina. Dia juga menyerukan dukungan untuk menyelesaikan konflik melalui arbitrase internasional.
"Mari kita menegakkan dan mengikuti aturan hukum dalam menyelesaikan sengketa teritorial untuk memberikan pengakuan dan penghormatan terhadap hak-hak semua bangsa. Kita tidak bisa bergantung hanya pada dialog antara dua negara untuk menyelesaikan masalah-masalah yang memengaruhi negara lain di wilayah ini," kata Aquino dalam sebuah pernyataan seperti dilansir AP.