Oleh: Mohammad Akbar
Masih bermunculannya praktik klenik tak lepas dari latar budaya sinkretisme di negeri ini.
Menurut Andriyana, budaya ini juga diperkuat sejak masa penjajahan Belanda dengan menumbuhkan sejumlah mitos yang bersifat klenik. “Kalau dari sisi agama sudah jelas. (Memercayai) itu bisa merusak akidah,” tegasnya.
Hal serupa disampaikan pula oleh Ketua Forum Silaturahim Lembaga Dakwah Kampus (FSLDK) regional Daerah Istimewa Yogyakarta Jamhari.
Ia menegaskan, di dalam Islam sangat tidak dianjurkan untuk memercayai hal klenik. Selain bertentangan dengan akidah, percaya pada hal semacam itu menandakan sikap yang tak cerdas dan rasional.
“Zaman sudah secanggih seperti sekarang, jangan lagi kita memercayai pemimpin yang seperti itu,” ujarnya.
Jamhari yang juga berstatus sebagai mahasiswa UIN Sunan Kalijaga ini menegaskan, saat ini masyarakat sudah semakin kritis dan cerdas untuk menentukan pilihannya terhadap calon pemimpin.
Ia sangat yakin masyarakat tak akan mudah terkecoh untuk memilih pemimpin yang hanya bermodalkan kekayaan, apalagi pada hal-hal klenik. “Tapi, untuk sebuah imbauan, saya meminta agar masyarakat juga jangan lagi memilih pemimpin (percaya klenik). Itu konyol namanya,” ujarnya.
Dalam Islam, kata Jamhari, persoalan semacam itu sangat berkaitan dengan sikap spritualitas. “Tetapi, hubungannya hanya kepada Allah, bukan kepada yang lain. Inilah yang harus diperhatikan.”
Jamhari meminta agar para pemimpin maupun para calon pemimpin bisa meluruskan niatnya. Jika sudah melakukan hal-hal yang memercayai klenik, ia mengimbau agar segera bertobat. “Jangan lagi diteruskan!”