REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Berdasarkan hasil survei Toptenreview.com, salah satu lembaga survei internet terkemuka, Indonesia merupakan pengakses pornografi terbanyak ketujuh di dunia, dengan kata kunci "sex" di internet.
Sedangkan khusus mesin pencari google, Indonesia ada di urutan keempat pencari materi pornografi terbanyak dengan kata kunci itu.
Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Prof. Dr. KH. Maksum Machfoedz, menyatakan berbagai situs porno merajalela di Indonesia akibat pembangunan tanpa nilai-nilai sosial (social values).
"PBNU selalu mendasarkan berbagai pendekatan pembangunan pada 5 hal paling mendasar: jujur, amanah, adil, saling membantu (gotong-royong) dan istiqamah," ujar Maksum saat dihubungi Republika, Senin malam (12/5), melalui surat layanan elektronik (email).
Pembangunan di Indonesia, papar Maksum, harus 'istiqamah' terhadap 'social values' yang kita yakini kebenarannya. Jika pembangunan meninggalkan 'social values', akan menjadi pembangunan tidak beradab.
Pembangunan tanpa 'social values', jelas Maksum, hasilnya akan mengabaikan urusan moralitas. Akibatnya, sudah pasti tidak pernah ada kepribadian budaya, karena sudah dijajah oleh politik tidak beradab.
Jika politiknya tidak beradab, terang Maksum, tentu tidak akan pernah melahirkan kemandirian ekonomi bangsa. Kemandirian ekonomi tidak akan terwujud selama masih dijajah politik tidak beradab.
Budaya dan sistem nilai pun, tegas Maksum, juga terjajah oleh ketidakberadaban. Sehingga, bangsa Indonesia menjadi permisif, pornografis, kolusif dan nepotis, sehingga terjadi dekadensi moral secara luar biasa.
"Jargon-jargon pembangunan manusia seutuhnya, ternyata hanya jargon belaka. Seutuhnya dilihat dari sosok manusia sebagai binatang manusia yang harus sehat, kuat, kaya, bersih, cerdas dan lain-lain," jelas Maksum.
Selama ini, tegas Maksum, pembangunan manusia di Indonesia hanya menggunakan pendekatan materialistik saja. Manusia dianggap sebagai materi saja.
Padahal, pungkas Maksum, manusia adalah binatang sosial yang dilengkapi dengan hati dan tata nilai, dengan agama dan sopan santun, dengan etika dan budaya. Hal-hal esensial seperti Ini nyaris tidak tersentuh dalam pendekatan pembangunan manusia. Padahal, inilah makna seutuhnya manusia.