REPUBLIKA.CO.ID, Menurut para ulama, jika salah satu dari ketiga hal tersebut terpenuhi maka sudah bisa dihukumi mani.
Sedangkan menurut pendapat yang kuat (rajih) mani perempuan sama dengan mani laki-laki, tetapi menurut Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim-nya, untuk mani perempuan tidak disyaratkan muncrat.
Pendapat ini kemudian diikuti oleh Ibnus Shalah. Hal ini sebagaimana dikemukakan dalam kitab Kifayatul Akhyar.
“Tidak disyaratkan berkumpulnya (ketiga hal) yang menjadi ciri-ciri khusus mani, tetapi cukup satu saja untuk bisa ditetapkan sebagai mani, hal ini tidak ada perbedaan dikalangan para ulama.”
“Sedang mani perempuan itu seperti mani laki-laki menurut pendapat yang rajih dan pendapat Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Ar-Raudlah. Sedangkan beliau (Imam Muhyiddin Syaraf an-Nawawi) berpendapat dalam kitab Syarah Shahih Muslim-nya: ‘Bahwa mani perempuan tidak disyaratkan muncrat’. Pendapat ini kemudian diikuti oleh Ibnus Shalah.”
(Abu Bakr bin Muhammad al-Husaini al-Hushni asy-Syafi’i, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Damaskus-Dar al-Khair, cet ke-1, 1994 H, h. 41)
Sedangkan madzi adalah cairan putih-bening-lengket yang keluar ketika dalam kondisi syahwat, tidak muncrat, dan setelah keluar tidak menyebabkan lemas.
Keluarnya madzi tidak hanya dialami oleh kaum laki-laki saja, tetapi perempuan juga mengalaminya. Kadang-kadang keluarnya madzi tidak terasa.