Oleh: Irwan Kelana/Syahruddin El-Fikri
Ibn Atha'illah tergolong ulama yang produktif. Tak kurang dari 20 karya tulis yang telah dihasilkannya, mencakup bidang tasawuf, tafsir, hadits, akidah, nahwu dan usul fikih.
Namun, yang paling terkenal adalah kitab Al-Hikam. Buku ini disebut-sebut sebagai magnum opus-nya. Kitab ini sudah beberapa kali disyarah, antara lain oleh Muhammad bin Ibrahim Ibnu 'Ibad ar-Rundi, Syekh Ahmad Zarruq, dan Ahmad ibn Ajiba.
Selain Al-Hikam, kitab lain yang ditulisnya adalah Al-Tanwir fi Isqath al-Tadbi fi at-Tasawwuf, 'Unwaan al-Taufiq fi 'adab al-Thariq, Miftah al-Falah wa Misbah al-Arwah fi dzikrullah al-Karim al-Fattah, Al-Muraqqu ila al-Qadir al-Abqa', dan Al-Qaul al-Mujarrad fi al-Ism al-Mufrad.
Yang terakhir ini merupakan tanggapan terhadap pendapat-pendapat Syekhul Islam Ibnu Taimiyah mengenai persoalan-persoalan tauhid.
Untuk diketahui, kedua ulama besar itu memang hidup dalam satu zaman, dan kabarnya beberapa kali terlibat dalam dialog yang berkualitas tinggi dan sangat santun.
Ibnu Taimiyah adalah sosok ulama yang tidak menyukai praktik sufisme, sedangkan Ibn Atha'illah dan para pengikutnya melihat tidak semua jalan sufisme itu salah, karena mereka juga kuat dalam urusan syariat.
Meskipun ia tokoh kunci di sebuah tarekat, bukan berarti aktivitas dan pengaruh intelektualismenya hanya terbatas di tarekatnya saja. Buku-buku Ibn Atha'illah dibaca luas oleh kaum Muslimin dari berbagai kelompok, bersifat lintas madzhab dan tarekat, terutama kitab Al-Hikam yang melegenda ini.
Kitab Al-Hikam sangat populer di dunia Islam selama berabad-abad, sampai hari ini. Buku ini juga menjadi bacaan utama di hampir seluruh pesantren di Nusantara.