REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: A Ilyas Ismail
Dikisahkan, para sahabat sedang mengadakan perjalanan bersama Nabi Muhammad SAW. Sebagian mereka berpuasa (sunah), sebagian yang lain tidak. Perjalanan sangat melelahkan karena matahari begitu terik. Mereka lantas berhenti di satu tempat untuk berteduh.
Sebagian menggunakan kain, sebagian lagi hanya menggunakan tangan mereka. Mereka yang puasa sangat kelelahan. Lalu, sahabat yang tidak puasa bergegas mendirikan bangunan, tempat berteduh, dan memberi minum kepada para musafir.
Nabi SAW mengapresiasi langkah para sahabat yang tidak puasa dan menyatakan mereka bakal mendapat pahala dari Allah SWT. (HR Bukhari dan Muslim).
Islam, seperti ditunjukkan Nabi dan para sahabat dalam kisah di atas, mengajarkan kepada kita, dua kesalihan (ibadah), yaitu kesalihan individual dan kesalihan sosial. Kesalihan individual ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat vertikal (habl min Allah).
Kesalihan sosial ditunjukkan dengan ibadah yang bersifat horizontal atau sosial (habl min al-nas), seperti membantu orang lain dan memberikan donasi kepada mereka yang memerlukan. Kedua ibadah ini mesti ada dalam diri Muslim dan menjadi prasyarat kebahagiaannya.
Firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu, dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan.” (QS Al-Hajj [22]: 77). Ada dua perintah dalam ayat ini.
Pertama, perintah rukuk dan sujud alias shalat yang mewakili ibadah formal. Kedua, perintah berbuat kebajikan yang mewakili ibadah sosial. Menurut Imam al-Razi, shalat itu bagian dari ibadah dan ibadah bagian dari kebajikan.
Jadi, kebajikan itu bersifat umum. Di dalamnya terkandung ibadah formal dan ibadah sosial sekaligus. Inti dari ibadah sosial, menurut Ibn Abbas, seperti dikutip banyak ahli tafsir, adalah silaturahim dan keluhuran budi pekerti.
Keduanya memiliki semangat kemanusiaan dan kemasyarakatan yang tinggi. Silaturahim, seperti diketahui, mendorong kita mampu membangun hubungan dan komunikasi yang baik dengan sesama manusia, terlebih dengan orang-orang yang masih berkerabat.
Sementara akhlak mulia menuntun kita agar bersifat asketis dan humanis, sehingga keberagamaan kita dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
Pakar tafsir lain, Ibn `Asyur, dalam al-Tahrir wa al-Tanwir, menambahkan satu lagi ibadah sosial yang diminta ayat di atas, yaitu amar makruf dan nahi munkar. Amar makruf berarti menyuruh manusia pada kebaikan. Nahi munkar, mencegah manusia dari kejahatan.
Dalam pengertian yang lebih luas, amar makruf bermakna membangun sistem Islam yang berlandaskan akidah tauhid. Sedangkan nahi munkar bermakna menjaga dan memelihara agar sistem dan bangunan Islam itu tetap tegak dan kokoh.
Pada kenyataannya, kebanyakan kita hanya mementingkan ibadah formal tetapi kurang memperhatikan ibadah sosial. Padahal, kebaikan ibadah formal, seperti shalat, puasa, haji, zikir dan doa hanya kembali kepada kepentingan diri sendiri.
Kebaikan ibadah sosial kembali pada kemaslahatan umat. Ibadah formal sejatinya merupakan dasar dan landasan bagi lahirnya ibadah sosial. Dengan mempertinggi ibadah sosial, Islam benar-benar dirasakan sebagai rahmat bagi seluruh alam. Wallahu a`lam!