REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Pengadilan Pidana Internasional (ICC) membuka kembali kasus penganiayaan dan pelecehan sejumlah tahanan perang di Irak yang dilakukan tentara Inggris pada Selasa (13/5). Kasus penganiayaan dan pelecehan tahanan-tahanan Irak ini diduga terjadi antara tahun 2003 hingga 2008.
ICC sebelumnya telah menyimpulkan hasil penyelidikan awal kasus tersebut pada tahun 2006. Namun, penyelidikan lebih lanjut tidak segera dilakukan karena bukti-bukti yang ada tidak mencukupi.
Pada awal tahun ini, ICC mendapat bukti-bukti baru terkait kasus penganiayaan dan pelecehan pada tahanan Irak tersebut. Bukti baru ini berupa informasi-informasi penting mengenai kejahatan yang telah dilakukan oleh tentara inggris. Bukti-bukti yang ada saat ini jauh lebih kuat dari apa yang ICC miliki pada tahun 2006.
Sebuah kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) di Jerman dan firma hukum di Inggris menyampaikan analisis mereka mengenai kejahatan yang diperbuat tentara Inggris pada tahanan Irak saat itu. Dalam analisis tersebut disebutkan ada 400 mantan tahanan Irak yang melaporkan penganiayaan berat yang mereka alami.
Dari 400 laporan tersebut, terdapat 85 kasus yang dapat mewakili bukti kuat penganiayaan tersebut benar-benar dilakukan oleh tentara Inggris.
"Kami telah menerima informasi yang lebih kuat tentang dugaan penganiayaan berat yang dilakukan oleh tentara Inggris pada tahanan Irak," ujar Fatou Bensouda, jaksa di ICC, Selasa (14/5). Informasi tersebut juga mencakup rincian faktual serta waktu dan lokasi tempat saat penganiayaan tersebut berlangsung.
Sementara itu, Pemerintah Inggris menolak tuduhan bahwa tentaranya telah melakukan penganiayaan berat yang tidak sesuai ketentuan hukum internasional di Irak.
Pemerintah Inggris mengatakan jika tentara mereka sangat profesional dan terbaik di dunia sehingga tidak akan mungkin melanggar kententuan yang ada.
"Pasukan kami adalah pasukan berstandar tinggi dan selalu mematuhi hukum, baik nasional maupun internasional," ujar Dominic Grieve, Jaksa Agung Inggris.