REPUBLIKA.CO.ID, MANADO -- Tiga negara yang terhubung langsung oleh Laut Arafura dan Laut Timor (Arafura and Timor Seas/ATS), yaitu Indonesia, Timor Leste, dan Australia pada kegiatan Arafura and Timor Seas Ecosystem Action Program (ATSEA) Ministerial Meeting di Manado sepakat menyatakan komitmen bersama untuk mengelola wilayah laut ATS secara lestari dan berkelanjutan.
Menteri Kelautan dan Perikanan Indonesia, Sharif C Sutardjo mengatakan, Indonesia memberi perhatian khusus terhadap Laut Arafura dan Laut Timor karena sebagai salah satu wilayah penangkapan ikan yang sangat produktif dan memiliki peranan yang sangat penting terhadap kesejahteraan masyarakat.
Laut ini mendukung hampir 50 persen jumlah udang yang ditangkap dari alam dan 20 persen dari semua ikan demersal di Indonesia. “Ini merupakan kontribusi yang signifikan dan penting bagi perekonomian nasional Indonesia,” ujarnya saat sambutan pembukaan ATSEA Ministerial Meeting di Manado, Sulawesi Utara, Kamis (15/5) seperti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika.
Namun seperti yang terjadi di bagian lain di dunia, penangkapan ikan secara ilegal yang tidak dilaporkan (illegal unreported and unregulated/IUU fishing) adalah masalah global. Termasuk juga permasalahan yang terdapat di Laut Arafura.
Merespons hal tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah meluncurkan Rencana Pengelolaan Perikanan untuk Wilayah Pengelolaan Perikanan Laut Arafura dengan pendekatan pengelolaan perikanan berbasis ekosistem sebagai alat pengelolaan sumberdaya secara berkelanjutan.
Komitmen ini juga diwujudkan melalui Program Aksi Strategis (The Strategic Action Programme/SAP) yang terdiri dari serangkaian usulan kerja sama dan pengaturan kelembagaan yang meliputi isu-isu IUU fishing, pencemaran laut, hingga dampak perubahan iklim.
Sharif menyatakan, pemerintah Indonesia sangat mendukung upaya regional ini. Dalam pelaksanaannya, ketiga negara akan mengintegrasikan nilai-nilai ilmiah dan lingkungan ke dalam proses pengambilan keputusan dan mempromosikan pemanfaatan sumber daya laut dan pesisir yang berkelanjutan di wilayah ini.
Selain itu, juga menghormati konvensi dan perjanjian internasional yang mempertimbangkan pola perikanan yang bertanggung jawab. “Hal tersebut untuk mengantisipasi kecenderungan degradasi pada habitat laut dan kualitas lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Kode Etik Internasional untuk Perikanan yang Bertanggung Jawab ( Code of Conduct for Responsible Fisheries),” katanya.
Agar kerja sama regional ini berjalan dengan baik, kata Sharif, maka kerja sama dan inisiatif terkait yang sudah ada dapat dimanfaatkan. Salah satunya Coral Triangle Initiative on Coral Reefs, Fisheries and Food Security (CTI-CFF), dimana Indonesia, Timor Leste, dan Australia terikat di dalamnya karena berada atau berdampingan dengan kawasan segitiga terumbu karang.
“Kita dapat memanfaatkan kerja sama yang telah ada untuk membentuk format dan mekanisme yang sesuai untuk pengelolaan Laut Arafura dan Laut Timor yang berkelanjutan,” ujarnya.
Pada kesempatan penyelenggaran ATSEA Ministrial Meeting tersebut juga dilakukan panandatanganan kerja sama dan kolaborasi regional antara pemerintah Indonesia, Timor Leste dan Australia atau disebut Deklarasi Menteri.
Deklarasi Menteri ditandatangani oleh Sharif, Menteri Pertanian dan Perikanan Republik Demokratik Timor-Leste Mariano Assanami Sabino, dan Duta Besar Australia untuk Indonesia Greg Moriarty. “Penandatanganan tersebut sebagai upaya penegasan komitmen bersama dalam mengelola ATS. Kesepakatan seperti ini merupakan pertama kali yang terjadi antara ketiga Negara pantai ini”, ujar Pelaksana Tugas Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan Achmad Poernomo.
Achmad menambahkan, Deklarasi Menteri yang ditandatangani mendukung implementasi Program Aksi Strategis Laut Arafura dan Laut Timor (SAP ATS). Deklarasi tersebut meliputi, pemulihan dan pelestarian sumberdaya perikanan, perbaikan habitat yang kualitasnya menurun untuk penyediaan jasa ekosistem yang berkelanjutan. Selain itu, pengurangan polusi yang berasal dari darat dan laut, perlindungan spesies kunci sumberdaya hayati laut, dan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada sektor-sektor terkait.
“Deklarasi ini juga menyetujui pembentukan suatu mekanisme kerjasama regional untuk menjamin koordinasi dan peningkatan kapasitas dari semua pemangku kepentingan dalam mempromosikan suatu pengelolaan yang terintegrasi dan berkesinambungan di wilayah ATS. Selain itu telah disepakati pula tawaran Indonesia untuk menjadi tuan rumah sekertariat kerjasama regional ini yang akan berlokasi di Bali,” ujarnya.
Program ATSEA merupakan suatu program kerjasama regional yang didanai bersama oleh Global Environment Facility (GEF), pemerintah Indonesia, Timor-Leste dan Australia serta United Nations Development Program (UNDP). Adapun sebagai pelaksana program adalah United Nations Office for Project Services (UNOPS). Sebuah rencana untuk keberlanjutan program dalam rangka implementasi SAP, saat ini tengah disusun.