Oleh: Ratna Ajeng Tejomukti
Rekayasa genetis di satu sisi bermanfaat, tetapi makanan berbahaya bagi manusia dan lingkungan.
Kemajuan teknologi pangan melahirkan inovasi-inovasi baru terkait dengan pengembangan pangan bagi manusia, salah satunya ialah rekaya genetika. Rekaya tersebut bisa diperuntukkan bagi hewan, tanaman, buah-buahan, atau sayur-sayuran.
Munculnya perdebatan mengenai produk hasil rekayasa genetis telah menarik dunia internasional. Lembaga-lembaga terkait menuntut produsen untuk mencantumkan label halal khusus produk rekayasa genetis atau GMO (Genetically Modified Organism).
Staf Kementrian Pertanian Farriza Diyasti mengatakan, dalam penelitiannya, GMO merupakan makhluk hidup yang telah ditingkatkan kemampuan genetisnya. GMO lebih populer dengan istilah tanaman transgenik.
Awalnya, kata dia, teknologi ini lahir untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang semakin meningkat. Terutama, kebutuhan pasokan pangan.
Dalam teknologi pertanian pangan biasanya rekayasa genetis dilakukan untuk peningkatan produksi, peningkatan kualitas, perbaikan pascapanen, dan perbaikan proses. Penggunaannya memang secara umum bermanfaat. “Tetapi, pada perkembangannya kontroversial,” kata dia.
Temuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan, terdapat jenis bahan kimia baru dalam organisme transgenik dan produknya. Bahan kimia tersebut berpotensi menimbulkan penyakit baru.
Dia mencontohkan, terdapat gen AAD dalam kapas transgenik yang dapat berpindah ke bakteri yang menjadi penyebab kencing nanah. Sehingga, bakteri ini menjadi kebal terhadap antibiotik dan sulit disembuhkan.
Sarung tangan dan kondom berbahan karet transgenik dengan lateks berkadar protein tinggi bisa mengakibatkan alergi bagi pemakainya.
Tanaman transgenik juga berdampak pada efek pestisida yang dapat mematikan daur hidup hewan di sekitarnya. Akibatnya, secara tidak langsung keseimbangan ekosistem tergangu.