REPUBLIKA.CO.ID, NUSA DUA BALI -- Pelaku usaha bisnis kakao mengkhawatirkan akan terjadi defisit bahan baku kakao di dunia pada 2020 sebesar satu juta ton.
"Ini karena terjadi peningkatan permintaan kakao sekitar 2 sampai 4 persen per tahun sementara produksi kakao tidak sebesar itu," kata kata Wakil Menteri Perindustrian Alex SW Retraubun, saat Konferensi Kakao Internasional Indonesia Keenam, di Nusa Dua, Bali, Jumat (16/5) malam.
Alex mengatakan kekhawatiran tersebut mengemuka pada konferensi tersebut. Untuk Indonesia sendiri, katanya, konsumsi meningkat menjadi 400 gram per kapita per tahun pada 2013 dari sebelumnya 250 gram per kapita per tahun pada 2010. Angka itu masih kalah jauh dari komsumsi kako Eropa 8 kg per kapita per tahun.
Namun, Alex, berharap tidak akan terjadi kekurangan pasokan bahan baku kakao. Alex mengatakan kekhawatiran itu justru merupakan peluang bagi Indonesia yang kini merupakan produsen kakao nomor tiga terbesar setelah Ghana dan Pantai Gading.
Ia mengatakan produktivitas kakao Indonesia masih rendah. Saat ini, untuk meningkatkan produksi kakao maka pemerintah melalui Kementerian Pertanian melakukan gerakan nasional peningkatan produksi kakao.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia, Piter Jasman, mengatakan Indonesia masih sangat mungkin meningkatkan produksi kakaonya.
Piter mengatakan saat ini produktivitas kakao petani Indonesia hanya 500 kg per hektar. Padahal produktivitas perkebunan kakao bisa ditingkatkan menjadi 2 ton per hektare, bahkan di Aceh bisa mencapai 3 ton per hektare.
Jika petani Indonesia bisa meningkatkan produktivitas maka produksi kakao Indonesia meningkat tanpa harus melakukan ekstensifikasi lahan. Untuk meningkatkan produktivitas, katanya, maka perlu bibit yang bagus, pemupukan dan pemeliharaan yang teratur.
Menurut data Kementerian Pertanian pada 2013 total produksi buah kakao Indonesia 770 ribu ton dari 1,8 juta hektare lahan kakao, atau ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.