REPUBLIKA.CO.ID, MEDAN -- Harga kopi di pasar internasional yang tren menurun sejak beberapa pekan lalu langsung berdampak pada melemahnya permintaan dan harga di Indonesia seperti terjadi di sentra produksi Sumatera Utara.
"Penurunan harga ekspor kopi itu sendiri karena situasi pasar global. Kondisi itu menyebabkan pelaku melakukan aksi 'wait and see' sehingga permintaan melemah," kata Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI) Sumatera Utara (Sumut), Andryanus Simarmata di Medan, Ahad (18/5).
Harga kopi ekspor masih mencapai Rp70-ribuan per kilogran, sedangkan harga di pasar lokal Rp65-ribuan/kg. "Walau harga di pasar lokal sudah melemah, tetapi dinilai importir masih mahal mengingat harga di pasar internasional terus turun," katanya.
Akibatnya, kata dia, selain untuk memenuhi kontrak, tidak ada transaksi baru dagang kopi.
Wakil Ketua Umum bidang Speciality dan Industri Kopi AEKI Sumut, Saidul Alam menyebutkan, harga kopi di Indonesia dinilai masih sangat mahal karena harga di terminal New York turun terus dari 284,15 dolar AS per libs pada awal Mei lalu menjadi 185,05 dolar AS per libs pada Jumat lalu.
Dengan penurunan harga itu, harga di pasar lokal yang turun atau tinggal sekitar Rp56.000/kg dari sebelumnya Rp60.000/kg, dinilai masih sangat tinggi, ujarnya.
"Karena dinilai tinggi atau mahal, importir akhirnya menahan, bahkan tidak melakukan permintaan," kata Saidul Alam.
Saidul mengakui, harga kopi di Indonesia seperti di Sumut memang tidak bisa turun drastis karena produksi sedang sedikit akibat masa panen sudah habis.
Petani kopi di Sidikalang, Romel Sembiring, mengakui sedikitnya produksi dan turunnya harga jual itu. Akibat produksi rendah dan disusul harga jual yang tren turun, petani semakin cepat menjual kopinya. "Takut harga jual turun lagi," katanya.