REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Buntut dari penutupan pabrik di Lumajang dan Jember, Jawa Timur, manajemen perusahaan rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HM Sampoerna) melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap 4.900 buruhnya. Kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menilai PHK masal ini sebagai "tragedi luar biasa".
“Ini merupakan suatu tragedi ketenagakerjaan yang luar biasa, di tengah sulitnya masyarakat mencari pekerjaan yang layak,” kata anggota Komisi IX DPR,Poempida Hidayatulloh, di Senayan, Jakarta, Selasa (20/05).
Bagi dia, seyogianya pemerintah melakukan pengawasan dan pembinaan dalam konteks Industri yang banyak menyerap tenaga kerja. Apabila memang manajemen produsen rokok terkemuka di Indonesia itu dalam kesulitan pun, dapat diberikan opsi pembinaan oleh pemerintah. Yaitu, bisa dalam bentuk asistensi manajemen secara profesional atau pengambilalihan badan usaha oleh pengusaha yang lebih mampu.
Lebih lanjut, kata Poempida, pabrik rokok HM Sampoerna ini sejak 2005 dikuasai oleh pihak asing, yakni PT Phillip Morris. Seperti diketahui, HM sampoerna memproduksi sejumlah merek rokok kretek yang dikenal luas, seperti Sampoerna Kretek, A Mild, serta “Raja Kretek” yang legendaris Dji Sam Soe
“Seharusnya Phillip Morris sangat mampu dalam masalah manajemen perusahaan tersebut. Namun, kenapa tidak dilakukan?” cetusnya.
Peompida curiga bahwa ini bagian dari agenda asing dalam membunuh industri kretek yang merupakan warisan leluhur (heritage) bangsa Indonesia. “Mereka hanya akan menjadikan Indonesia sebagai pasar dari rokok impor produksi mereka,” ujar politikus Partai Golkar yang membelot menjadi juru bicara kubu calon wakil presiden Jusuf Kalla yang berpasangan dengan capres Jokowi itu.
Dia meminta siapa pun pemerintah ke depan harus dapat melakukan perlindungan dalam konteks ketenagakerjaan, seperti masalah PHK massal di pabrik rokok HM Sampoerna.