REPUBLIKA.CO.ID, SIMFEROPOL -- Tujuh dekade lalu, ribuan Muslim Crimea diusir oleh pemimpin Soviet kala itu, Josef Stalin. Rasa pedih dan terluka masih terngiang. Kini, mereka kembali dihadapkan situasi yang sama, dimana rasa trauma kembali muncul.
"Kami tidak pernah berpikir memperingati ulang tahun dalam situasi seperti ini. Kami tidak tahu apa yang harus dilakukan soal masalah yang kami hadapi," ucap Refat Chubarov, sesepuh Muslim Crimea, seperti dilansir The Guardian, Selasa (20/5).
Pada Ahad kemarin, ribuan Muslim Crimea berkumpul di sebuah masjid di pinggiran Simferofol. Mereka berdoa meminta perlindungan dan perdamaian. Satu napak tilas atas apa yang dihadapi orang tua mereka dahulu.
Mufti Crimea, Emirali Ablaev yang memimpin acara tersebut menyisipkan pesan penting. Ia minta Muslim Crimea menerima dialog dengan penguasa baru Crimea. "Mereka mengawasi kita, dan mereka takut pada kita," kata dia.
Semenanjung Crimea selama berabad-abad menjadi wilayah yang diperebutkan berbagai penguasa. Terahir, Uni Soviet menduduki wilayah ini, lalu menjatuhkan hukuman kepada Muslim Crimea dengan tuduhan kolaborasi dengan Nazi Jerman.
Saat itu, lebih dari 200 ribu orang diangkut dalam kondisi yang memprihatinkan menuju Uzbekistan dan wilayah lain. Selama perjalanan itu, tak sedikit warga Crimea akhirnya meninggal. Selama masa pengusiran itu pula, harta benda Muslim Crimea, termasuk masjid disita penguasa Soviet.
Situasi itulah yang dikhawatirkan Muslim Crimea, setelah Rusia menerima referendum sekaligus mengesahkan aneksasi semenanjung Crimea. Presiden Rusia, Vladimir Putin sejauh ini belum memberikan jaminan akan nasib lebih dari 250 ribu Muslim Crimea.