REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) dinilai telah melakukan praktik mal-administrasi. Hal tersebut terkait pengelolaan taman BMW sebagai aset Pemprov DKI yang akan dibangun stadion bertaraf internasional.
Mantan wakil gubernur DKI Jakarta, Prijanto mengatakan, taman BMW sudah menjadi aset pemda berdasarkan BAST (Berita Acara Serah Terima) sejak era Fauzi Bowo. Namun, oleh Jokowi malah dikelola berdasarkan SK hak pakai yang sudah kedaluarsa.
"Jokowi tidak paham soal administrasi. Taman BMW itu sudah menjadi aset Pemda DKI berdasarkan BAST atas kewajiban pengembang kepada Pemrov DKI Jakarta pada 8 Juni 2007. Tapi Jokowi justru menggunakan dan menerima dua sertifikat berdasarkan SK hak pakai tahun 2003 yang sudah kedaluarsa. Ini bisa menjadi mal-administrasi," jelas Prijanto, Rabu (21/5)
Menurutnya, masih banyak persoalan terkait pengelolaan tanah BMW yang belum selesai. "Bagaimana mungkin sertifikat tanah hanya 12 hektare untuk menguasai seluruh lahan? Saya tidak habis pikir untuk masalah besar dan serius seperti ini, Jokowi bisa tidak mengerti," ujarnya.
Tak hanya itu, tambah dia, Jokowi juga ingin segera meletakkan batu pertama pembangunan stadion di atas tanah BMW yang belum memiliki IMB. Padahal, jargon Jakarta baru adalah setiap bangunan wajib memiliki IMB dengan syarat ada sertifikatnya.
"Kalau toh ada IMB, apakah stadion tersebut berdiri di atas tanah 12 hektare yang posisinya menepi dan memanjang? Apakah ini karakter Jokowi suka melanggar aturan? Apakah Jokowi akan mengulangi kesalahan seperti kasus monorail? Belum ada PKS (perjanjian kerja sama) tapi sudah meletakkan batu pertama," tuturnya Prijanto.
Senada, Ketua Umum Solidaritas Nasional Anti-korupsi dan Makelar Kasus (Snak Markus), Yurisman menduga pengembang properti terkemuka Podomoro Group diduga terlibat dalam sengketa tanah taman BMW tersebut. Dugaan tersebut muncul karena adanya perbedaan luas tanah dan lokasi taman BMW.
"Tanah yang diserahkan Podomoro pada Pemda DKI berbeda luas dan lokasinya dari yang tertulis di BAST dengan fakta di lapangan," katanya.
Sesuai BAST, tambah dia, atas kewajiban Podomoro sebagai pengembang kepada Pemrov DKI Jakarta pada 8 Juni 2007 tertulis tanah yang diserahkan seluas 265.395,99 meter persegi. Tetapi jumlah luas dalam surat pelepasan hak hanya 122.228 meter persegi.
"Ketika diteliti lebih lanjut, letak tanah yang diserahkan seluas 122.228 meter persegi bukan di Taman BMW. Jadi kuat dugaan Podomoro ini bermain, diduga juga melakukan kebohongan," jelas Yurisman.
Ia mengatakan, Podomoro bukan saja diduga melakukan kebohongan publik. Namun juga patut diduga juga melakukan kejahatan administratif.
"Kejahatan administratif yang dilakukan oleh Podomoro ini bisa ditelusuri dari dokumen yang ada. Saya masih menyimpan copy dokumennya. Jelas sekali dalam BAST 8 Juni 2007 tertulis luas tanah 265.395,99 meter persegi. Tetapi jumlah luas dalam surat pelepasan hak hanya 122.228 meter persegi," ungkapnya.
Dugaan adanya kebohongan yang dilakukan Podomoro tersebut berimplikasi pada kerugian negara. Yurisman memperkirakan negara akan dirugikan sekitar Rp.737.395.249.809,00. "Negara berpotensi dirugikan karena selain selisih luas tanah yang berbeda juga lokasinya yang tidak cocok antara BAST dan fakta di lapangan."