REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fuji Pratiwi
Islam menghapuskan perbudakan secara gradual.
Stok pangan yang menipis membuat banyak masyarakat kala itu melakukan barter bahan pangan dengan anggota keluarga mereka untuk dijadikan budak. Bagi mereka yang tidak memiliki apa-apa, kanibalisme jadi jalan mempertahankan hidup.
Perbudakan tak hanya berlaku di masyarakat, tapi juga oleh pemerintah. Para kriminal yang tertangkap dipekerjakan pemerintah di pos-pos yang telah ditentukan dengan tetap dilakukan pengawasan.
Pada masa Rasulullah SAW, perbudakan juga masih sempat terjadi sebelum akhirnya dihapuskan perlahan oleh ajaran Islam.
Dalam artikelnya, Prophet Muhammad's Attitude Towards Slavery from the Perspective of Human Rights, Elif Eryarsoy Aydin menguraikan beberapa hal yang menjadi contoh mulai dihapuskannya perbudakan.
Tahanan perang laki-laki pada masa Rasulullah boleh dijadikan budak dan dibebaskan saat masuk Islam. Begitu pula dengan tahanan perang wanita yang bahkan boleh dinikahi yang juga memberi kebebasan dari status budak dan tahanan.
Jumlah kepemilikan budak pun dibatasi saat itu dengan tanggung jawab pemelihaan yang laik sebagai manusia.
Sistem seperti ini dilakukan untuk menghapuskan perbudakan perlahan tanpa secara frontal mengganggu struktur masyarakat Arab yang kala itu menjadikan budak sebagai properti penting dan berharga.
Pembebasan budak juga diberlakukan sebagai sanksi bagi pelanggar aturan agama yang ditetapkan atau bagi para majikan yang melampaui batas.
Budak pada zaman Rasulullah SAW pun secara otomatis bebas saat tuannya tewas atau saat budak itu masuk Islam.
Sementara, budak perempuan dapat otomatis bebas saat melahirkan anak tuannya. Islam juga melarang Muslim memperbudak Muslim lainnya.
Zaid bin Haritsah juga merupakan budak yang dibeli pedagang Makkah dan dihadiahkan kepada Khadijah binti Khuwaylid.
Zaid bin Haritsah dijadikan hadiah pernikahan dari Khadijah kepada Rasulullah sebelum masa kenabian. Rasulullah SAW membebaskan Zaid bin Haritsah dari status budak dengan menjadikannya anak angkat.