Kamis 22 May 2014 17:03 WIB

Pengamat: Anggaran Infrastruktur Jangan Diutak-atik

Rep: Friska Yolandha/ Red: A.Syalaby Ichsan
Suasana pembangunan infrastruktur di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis(22/5).
Foto: Republika/ Yasin Habibi
Suasana pembangunan infrastruktur di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat, Kamis(22/5).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat ekonomi LIPI Latif Adam mengatakan, tidak cukup bijaksana jika pemerintah memangkas anggaran untuk infrastruktur. Dibandingkan negara lain yang menjadi kompetitor, infrastruktur nasional sangat ketinggalan.

"Semua jenis infrastruktur penting," kata Latif kepada RoL, Kamis (22/5).

Ia menilai, kalaupun ada pemangkasan anggaran di Kementerian PU, belanja infrastruktur tidak menjadi sasaran. Peran infrastruktur sangat besar bagi pembangunan ekonomi nasional.

Jika infrastruktur mandek, tidak dipungkiri pertumbuhan ekonomi pun akan ikut terkoreksi. Apalagi, pemerintah sudah menurunkan target pertumbuhan ekonomi.

Namun, sejauh ini pemerintah belum memutuskan anggaran mana yang akan dihemat. "Kalau anggaran perjalanan dan gedung kantor seperti yang dikatakan, rasanya tidak berpengaruh pada pembangunan," kata Latif.

Infrastruktur merupakan hal terakhir yang akan dipangkas. Pembangunan jalan, pelabuhan dan sejenis harus diprioritaskan.

Latif menambahkan, masalah defisit sudah menjadi persoalan yang setiap tahun mengganggu anggaran. Penyakit utamanya adalah subsidi bahan bakar minyak (BBM). Akibat subsidi, anggaran selalu tertekan. "Tahun ini alasannya karena nilai tukar dan lifting, tahun depan apa lagi. Ini kan masalah yang selalu muncul setiap tahun," kata Latif.

Pemerintah tidak bisa sekadar membuat kebijakan-kebijakan sementara untuk mengurangi konsumsi. Hal nyata yang dinilai tidak ruwet adalah dengan menaikkan harga BBM dan mengurangi subsidi.

Memang tidak mudah dan akan berdampak cukup signifikan jika harga BBM dinaikkan. Namun, efeknya hanya satu-dua bulan. Karena, pada akhirnya masyarakat akan kembali memakai BBM subsidi.

Ada dua hal yang menjadi faktor, yaitu tidak tersedianya energi alternatif dan transportasi massal yang memadai. "Sebulan masyarakat masih bisa ikut berdesak-desakan di bus. Tapi pada akhirnya mereka mencari kenyamanan dan kembali menggunakan kendaraan pribadi," kata Latif.

Jika dilihat dari sisi ekonomi, pemerintah bisa menaikkan harga BBM tahun ini. Inflasi tahunan cukup rendah, memungkinkan kenaikan BBM. Namun, ini perlu keberanian pemerintah. "Tapi pemerintah terlihat mengulur-ulur. Padahal tiap tahun dihadapkan pada masalah yang sama," ujar Latif.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement