REPUBLIKA.CO.ID, KEMPSEY -- Lebih dari satu abad, topi merek Akubra telah menjadi bagian dari simbol atau identitas masyarakat pribumi dan perdesaan di Australia. Namun berkurangnya pasokan kelinci lokal memaksa merek topik ikonik dari Australia ini harus mencari bahan baku dari luar negeri.
Direktur pengelola Pabrik Topi Akubra, Stephen Keir mengatakan ketika keluarganya mendirikan bisnis topi ini sebelum merebak wabah penyakit kelinci pada awal abad ke-20, bisnisnya sangat berkembang.
"Bulu kelinci merupakan bulu terbaik untuk membuat topi, dan industri kelinci pada tahun 40-an dan 50-an ketika itu sangat bagus, jumlah kelinci liar masih banyak sekali tidak seperti sekarang ini yang kebanyakan berasal dari kelinci hasil pembiakan di peternakan,” katanya, baru-baru ini.
"Bisnis kami dimulai di Tasmania sebagai usaha pemotongan bulu dan kemudian kami pindah ke Sydney dan mulai membuat topi. Kakek buyut saya menikah dengan anak bosnya dan generasi selanjutnya terus melanjutkan bisnis ini sampai giliran saya sekarang ini,” Keing berkisah.
Saat ini pabrik Akubra berada di Kempsey, New South Wales dan mempekerjakan 85 orang warga lokal.
Namun Stephen Keir mengatakan selama satu dekade terakhir produksi topi mereka semakin sulit.
Menurutnya butuh 12 ekor kulit kelinci untuk membuat satu topi, sementara pasokan bahan baku kelinci domestik tidak ada.
"Ketika wabah penyakit Calicivirus merebak, ekspor daging kelinci sempat dikarantina dan banyak pemasok kelinci liar dan kelinci jinak kami yang bangkrut,"
"Dari awalnya ada 8 pemasok hanya tersisa satu saja, dan usaha mereka tidak penah kembali pulih. Dan seluruh industri mulai berjatuhan begitu juga industri kelinci di Australia semakin sulit, biaya produksi membengkak, sangat menyedihkan,” kenangnya.
Ikuti Kompetisi Belajar Bahasa Inggris di Australia gratis - Klik tautan berikut: https://apps.facebook.com/australiaplus